Pengajian Kampung
Oleh Aji Muhammad Said
via www.mjscolombo.com
Menapaki tradisi kebudayaan Indonesia,
dapat dijumpai berbagai kearifan lokal, budaya, dan tingkat peradaban
yang tinggi. Kebudayaan tradisional terlahir sebagai watak dasar sebuah
peradaban, sebab tidak dipungkiri bahwa kebudayaan itu merupakan hasil
budi dan daya manusia terhadap kondisi kehidupan dan lingkungannya. Hal
itu terbentuk menjadi dua sifat yang dapat dikenali—ambil contoh istilah
hardware dan software. Dalam budaya mungkin bisa
mewujud pada karakter manusia dan karya (artefak; kerajinan tangan).
Namun yang namanya peradaban budaya tidak hanya itu saja, tradisi,
kebiasaan, nilai dan sistem kemasyarakatan juga termasuk di dalamnya.
Perpaduan budaya tidak hanya berhenti pada
satu pola, peradaban memunculkan kebudayaan baru, teknologi, dan
perkembangan zaman, menjadikan sebuah peradaban berkembang secara
dinamis. Tidak luput juga bidang sejarah, politik, ekonomi, dan agama
yang ikut berkaitan di dalamnya. Menjadi naluri harfiah bahwa manusia
memiliki kemampuan berpikir dan mengolah kehidupan berserta isinya.
Budaya memiliki andil, dan membawa hal-hal tersebut.
Ada istilah “Gotong-royong”, mungkin
istilah inilah yang menunjukkan wajah-wajah Indonesia apabila
didefinisikan dalam ranah kebudayaan yang beradab. Ciri ini mudah
ditemui di pedesaan, kampung-kampung, pondokan, yang mengajarkan
nilai-nilai luhur. Ambillah contoh bersih desa/merti desa, ruatan, syukuran, maulidan, yasinan, tahlilan, simakan, sholawatan
hingga pengajian kampung. Di dalamnya ada ibadah, doa, dan penyampaian
syukur kepada Sang Pencipta. Lebih pas lagi adalah pengajian kampung,
berangkat dari kata mengkaji/mengaji (mendalami/belajar), dimana
memiliki kecenderungan dalam belajar agama. Sedangkan kampung merujuk
pada tempat di pedesaan yang syarat makna tradisional, mengemban
nilai-nilai kedekatan sosial. Biasanya pengajian kampung dilaksanakan di
tempat terbuka yang lapang atau masjid/mushola/langgar diisi dengan
majelis taklim yang dipimpin tokoh masyarakat, alim-ulama, atau kiai
yang menjadi panutan masyarakat.
Di mana manusia berkumpul, naluri
perdagangan pun akan muncul sebagai penggerak roda ekonomi masyarakat.
Dari segi ekonomi, pengajian kampung menjadikan masyarakat berkumpul dan
memiliki pengaruh pada komoditi perdagangan. Pengajian-pengajian
kampung ini tidak hanya dihadiri para orang tua saja, remaja, anak-anak,
hingga balita juga ikut hadir didalamnnya. Barang dagangan yang
disajikan memiliki keragaman jenis. Selain itu pesona utama yang
digemari semua orang adalah makanan, ada makanan tradisional, juga ada
makanan modern. Ragam jualan jajanan, semisal bakso, mie ayam, sate
Madura, cilok, kacang rebus, kebab, sosis menjadi daya tarik. Hal ini
menjadikan geliat perdagangan dalam kemandirian ekonomi yang tergerakkan
melalui pengajian kampung.
Di sinilah kemudian terbentuk fungsi masyarakat sebagai tempat berkumpul, berinteraksi, bersilaturahmi,
berkegiatan secara bersama. Merujuk konsep Pancasila pada sila keempat,
yakni Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat dalam kebijaksanaan dalam
permusyawaratan dan perwakilan. Apabila dimaknai menjadi sebuah usaha
bermusyawarah dalam pencarian hikmah. Pencarian tentang kebenaran,
kebaikan, dan keindahan, dimana itu menjadi jalan manusia mengenali
Tuhannya. Jalan bagi manusia dalam merumuskan solusi dalam kehidupan
bermasyarakat dan sosial. Membentuk kemandirian dalam asas berjamaah dan
persatuan-kesatuan. Menitikberatkan pada pilihan yang jujur, adil, dan
terbuka terhadap berbagai kesempatan.
Ketika hikmah muncul, maka akan
menimbulkan kesadaran sosial yang tinggi dalam berbuat baik, menciptakan
kepedulian tinggi terhadap sesama, maupun alam semesta. Mulailah
disusun sebuah konsep “Gotong-royong”. Bentuk nyatanya ada dalam
pengajian kampung, dilihat, dengan partisipasi masyarakat, ada yang
menjadi panitia, ada yang menjadi koordinator, ada yang sukarela
memberikan bantuan tenaga-materi, ada yang kebagian jatah memberikan jaburan (jajan pasar/santapan saat pengajian), ada yang memainkan rebana, sholawatan. Semua bersatu padu dalam nilai “Gotong-royong” kebersamaan.
Atmosfir seperti inilah yang membuat
sistem kekerabatan yang ada pada masyarakat menyatu, dalam pencarian
kebaikan, kebenaran, dan keindahan. Masyarakat berkumpul pada satu
tempat secara bersama-sama. Menjadi pemaknaan keindahan dan bekal menuju
akhirat. Tidak akan sempat seseorang berprasangka buruk, berbuat zalim
atau mencelakai sesamanya, ketika fokus mereka, hanya pada penghambaan
kepada Tuhannya. Satu sama lain saling mengamankan sesamanya, yakni
saudara, teman, tetangga, keluarga. Mengaji bersama dengan nilai
persuasif yang baik, tanpa menebar amarah maupun ketakutan. Orang-orang
yang mengikuti pun tenggelam dalam ketenangan dan samudra kebajikan,
mengikuti dari awal sampai akhir. Tidak luput juga pujian sholawat dan suluk sebagai hiburan di sela-sela hikmah dan ilmu yang disampaikan para kiai.
Selain itu, konsep pengajian juga menjadi
wadah dan bekal bagi lahirnya negara dan bangsa. Adanya faktor peradaban
dan kebudayaan, menjadi bekal berdirinya sebuah negara, yang berasal
dari nilai-nilai kebudayaan, dan nilai-nilai spiritual, mewujud sesuatu
yang tidak tergoyahkan.
Syaikhona Kholil, sesepuh ulama di
Indonesia, membekali muridnya dalam dakwah. Wejangan dakwah beliau untuk
Indonesia adalah dengan memerintahkan muridnya berdakwah-belajar agama,
sekaligus membangun nilai dan moral masyarakat. Dua murid dibekali
kitab, sebagai simbolisasi ilmu, hingga terlahirlah dua organisasi besar
NU (KH. Hasyim Asy’ari) & Muhammadiyah (KH. Muhammad Darwis/KH.
Ahmad Dahlan). Dua murid yang lain ke Jombang, satu KH. Romly Tamim
dibekali pisang, bertujuan membenahi ekonomi masyarakat (ekonomi
kerakyatan) mewujud ekonomi dalam ranah pangan, kebutuhan sehari-hari.
Satu lagi KH. Imam Zahid dibekali cincin, sebagai simbol
persatuan-kesatuan, meredam konflik dengan menciptakan persatuan dan
kesatuan. Berdasarkan hal tersebut, pengajian-pengajian kampung menjadi
penting, apalagi dalam membangun negara.
Sama seperti cerita para ulama-kiai
terdahulu, kiai kampung juga tidak kalah penting dalam
pengajian-pengajian di masyarakat. Pintu-pintu berkah masuk melalui
peran para kiai dalam membuka pengajian, keberkahan masuk lewat doa-doa
beliau-beliau ini. Sikap taqdzim (adab untuk selalu menghormat), ikram (memuliakan), dan khidmaht
(khusyuk dan fokus) seseorang terbentuk dari pengajian-pengajian ini.
Kiai-kiai kampung juga tidak sembarangan memberikan dakwah. Malahan
menggunakan bahasa yang mudah dipahami dan halus, diikuti dengan sedikit
canda, syarat kritik sosial, menunjukkan pemaknaan yang kaya
simbolisasi. Tak luput juga memberikan optimisme hidup dengan prinsip “Urip mung mampir ngombe”,
dimana target akhirnya adalah kesejatian hidup di akhirat. Sehingga
ahklak berupa watak dan karakter masyarakat terbentuk dari nilai-nilai
yang disampaikan, menjadikan wajah-wajah bangsa Indonesia berbudi dan
beradab.
Repost: https://mjscolombo.com/2019/07/05/pengajian-kampung/
*Apabila mengutip tulisan ini, mohon sertakan sumber yang lengkap dari penulis, dan gunakan pengutipan yang baik dan benar, terima kasih.