“Teknologi Dengan Gaya
Hidup Mewah Ala Pahlawan Super Iron Man”
Oleh : Aji Muhammad
Said
ABSTRAK
Film Iron Man menjadi menarik karena
menghadirkan sosok pahlwan super beserta teknologi canggihnya. Ke khasan dalam
film mulai dibuat oleh pembuat film dengan mengedepankan aspek bahasa film, dan
faktor-faktor lainnya. Film dikonstruksikan mengarahkan kepada suatu bentuk
representasi. Kelas sosial hadir dalam film sebagai wujud imaji yang
divisualisasikan. Adanya kelas sosial ini muncul karena adanya sesuatu yang
dihargai. Teknologi disini menjadi sesuatu yang dihargai. Dalam konsep Habitus
kemudian mempunyai keterkaitan tersendiri dengan individu, terlihat pada film segudang
teknologi canggih dan fasilitas mewah membentuk sekaligus menguatkan karakter
tokoh utama. Selain itu terdapat konsep arena yang merupakan
suatu sistem posisi sosial yang tersetruktur yang dikuasai oleh individu atau
institusi suatu inti yang mendefinisikan situasi untuk mereka anut. Apa yang dibawa Toni
Stark berdasarkan definisi situasi yang dianut menjadikannya
memiliki kuasa dalam menciptakan teknologi super, mempunyai previlage dalam mendapatkan akses
informasi, hingga pengambaran imajinasi yang berbeda dengan masyarakat pada
umumnya. Kedudukan yang dimilikannya pun merupakan kedudukan kelas sosial atas.
Hal ini tercermin dari bagaimana cara Toni Stark berpenampilan, bagaimana
status, dan perannya di kehidupan sosial.
Kata
Kunci: Kelas Sosial, Gaya Hidup Mewah, Representasi, Film, Habitus, Arena.
PENDAHULUAN
Peran Tokoh utama Toni Stark sebagai
Iron Man dalam film menampilkan sosok pahlawan super dengan karakternya
tersendiri. Berawal sebagai seorang milioner,
Ia menggunakan kekayaannya untuk membuat baju besi perang (armour) yang dikenal
Iron Man untuk membela kebenaran dan menyelamatkan Manusia. Karakter tokoh
utama dalam film menjadi kuat karena didukung dengan fasilitas-fasilitas yang
mendukung dalam kehidupannya sebagai pahlawan super.
Menelisik lebih jauh, film pahlawan
super (superhero) biasanya diadaptasi
dari komik, tayangan kartun, dan animasi. Sifat film pahlawan super ini
biasanya mengandung berbagai unsur laga, fantasi, fiksi, dan ilmiah. Sehingga
tidak jarang film pahlwan super, berawal dari kehidupan tokoh utamanya,
bagaimana ia memiliki kekuatan super. Salah satu yang fenomenal belakangan ini
adalah film Iron Man buatan Marvels Studios. Pada Film Iron Man ini
menceritakan kehidupan pemeran utamnya yaitu Tony Stark
(Robert Downey Jr.). Secara singkat, dalam
cerita film Toni Stark sebagai orang yang kaya yang mewarisi Stark Industries,
sebuah perusahaan kontraktor militer utama yang ia warisi dari mendiang
ayahnya. Suatu ketika ia dijebak ketika akan melakukan perjalanan ke
Afganistan. Toni Stark ditangkap dan dijadikan sandra oleh teroris Sepuluh
Cincin, kemudian ia berhasil lolos dan memerangi kejahatan dengan berubah
menjadi Iron Man.
Menurut Yusuf (https://bincangmedia.wordpress.com,
akses 7 Juli 2015), di setiap zamannya pastilah memiliki figur superhero. Sosok
superhero menjadi bagian dari perjalanan
cerita hidup masyarakat dunia. Baik mitos maupun legenda tentang manusia super
sudah lama direproduksi secara tradisional melalui media tutur dan tulis. Di
zaman serba modern, dongeng superhero hadir melalui berbagai bentuk budaya
populer. Dalam ranah fiksi, banyak cerita bertema superhero yang seolah-olah
tak habis-habis diangkat ke dalam komik, film, sinetron, game, hingga teater.
Mulai dari genre action, horor, drama, komedi, sampai film dewasa berkategori
XXX dengan tema parodi tokoh superhero. Dengan berbagai lakon, secara konsisten
superhero ditampilkan sebagai sosok klise manusia luar-biasa.
Film pahlawan super Iron Man menjadi
menarik karena menghadirkan sosok pahlwan super beserta teknologi canggihnya.
Pengambaran tokoh utamanya pun semakin kuat dengan kesan seseorang kaya raya,
jenius, inovatif. Ketika dinikmati sebagai sebuah film pun tidak membosankan,
karena juga mengahdirkan suatu hal yang memukau membuat orang takjub dengan
kehidupan mewah dan eksklusif. Terlepas dari tayangan film yang menghibur, ada
sisi lain yang juga menarik untuk dilihat. Sisi lain dalam film Sekuel Iron Man
ini bisa dilihat dari segi pembentuk gaya hidup mewahnya, bagaimana kelas
sosial atas digambarkan pada diri Toni Stark sebagai pahlawan super. Kaca mata
untuk melihat film ini kemudian memfokuskan tentang bagaimana melihat pahlawan
super yang memiliki teknologi canggih, kaya raya, dan bergaya hidup mewah.
Berangkat dari sini kemudian memunculkan sesuatu yang unik untuk dilihat. Sosok
Iron Man ini memiliki perbedaan dengan karakter yang lain pada film, seperti
misalnya musuh atau teman Toni Stark. Selain melihat sisi pembentuk gaya hidup
mewahnya, faktor-faktor yang melatarbelakangi gaya hidup mewah Iron Man menjadi
menarik untuk diketahui.
Untuk membahasnya lebih lanjut maka
sisi kehidupan mewahnya tersebut bisa dijabarkan dengan pendekatan kualitatif,
dengan menggunakan analysis diskriptif. Adapun penggunaan analysis diskriptif
mempunyai tujuan untuk menjabarkan secara eksploratif bagaimana pembentuk gaya
hidup mewah pada sosok Iron Man tersebut, berdasar teori Habitus dan Arena dari
Pierre Bourdieu. Sedangkan untuk membantu memudahkan dalam melakukan
analysisnya maka digunakan juga literature
review dari buku, atau artikel yang mendukung. Melalui pembahasan dalam
tulisan ini diharapkan mampu memberikan kotribusi dan manfaat yang positif.
Adapaun manfaat secara teoritis, diharapkan pembahasan dari tulisan ini
mampu memberikan
sumbangan pemikiran yang bersifat positif bagi pengembangan dunia film. Sedangkan
secara praktis diharapkan dapat memberikan sumbangan berupa
informasi, bagi mahasiswa maupun akademisi lainnya.
PEMBAHASAN
Ke khasan dalam film mulai dibuat
oleh pembuat film dengan mengedepankan aspek bahasa film, dan faktor-faktor
pendukung lainnya. Film dikonstruksikan mengarahkan kepada suatu bentuk imaji
atau citra tertentu. Secara sadar atau pun tidak sadar kemudian memberikan
makna kepada penonton film. Wujud representasi menjadi dasar bagaimana cara
melihat sekuel film Iron Man dari I, II, sampai III ini. Representasi kemudian
menjadi sebuah ide, bagaimana melihat film, dan bagaimana hal-hal yang ada
dalam film mengkonstruksikan makna. Menurut Burton (2012: 137), menjelaskan
bahwa representasi berkaitan dengan subjek tertentu. Misalnya suatu foto dapat
dideskripsikan sebagai represntasi x. Akan tetapi bahasa, kode, atau saran
komunikasi apapun dapat bertindak sebagai sarana representasi. Pandangan mengenai suatu objek didapat
melalui artikel tertulis, gambar-gambar, komik, serta film. Lebih tepat apabila
berpikir tentang representasi dalam pengertian verbal dan aktif; hal tersebut
adalah sesuatu yang dilakukan dan terjadi.
Apa yang disajikan dalam sekuel film
Iron Man ini, kemudian menghadirkan representasi kelas sosial. Kelas sosial
hadir dalam film sebagai wujud imaji yang divisualisasikan. Adanya kelas sosial
ini muncul karena adanya sesuatu yang dihargai. Worang (1983; 87), kelas sosial
terbentuk karena adanya sesuatu yang dihargai dalam masyarakat dan setiap
masyarakat pasti mempunyai sesuatu yang mereka hargai. Sesuatu yang dihargai
tersebut bisa berupa barang semisal uang atau benda lain yang benilai ekonomis.
Dapat juga berupa tanah, kekuasaan, besarnya pengetahuan tentang agama, dan
mungkin faktor keturunan dari keluarga terhormat.
Seperti yang terlihat pada film,
segudang teknologi canggih dan fasilitas mewah menjadi pendukung tersendiri
bagaimana menguatkan karakter tokoh utamanya ini. Dapat dikatakan bahwa Toni
Stark ini tidak memiliki kemampuan super secara alami seperti halnya pahlawan
super lainnya muncul contohnya, Superman, Sepiderman, Hulk, dsb. Karakter Iron
Man ini kemudian menjadi berbeda, ia memiliki kecerdasan dan juga kekayaan,
sehingga hal ini lah yang ditonjokan dalam film, bukan pada kemampuan uniknya.
Adapun hal yang menjadikannya berbeda adalah ia bisa membuat baju perang
sendiri berdasarkan keakayaan dan kecerdasaanya. Selain baju perang, di
lingkungannya baik itu ruang pribadi atau ruang kerja dalam tempat tinggalnya
selalu diwarnai dengan peralatan dan teknologi yang canggih. Hal inilah yang
kemudian menjadi makna yang bisa dibaca baik melalui simbol-simbol, tanda yang
ada dalam film.
Menurut Yusuf (https://bincangmedia.wordpress.com,
akses 7 Juli 2015), Jika dilihat dalam kajian komunikasi, eksistensi superhero
dipengaruhi oleh perubahan karakteristik media yang akhirnya membentuk dinamika
superhero ke dalam aneka produk pesan dengan inti tujuan yang sama, yaitu
menjual imaji dan fantasi. Banyak dimensi yang bisa diangkat sebagai fokus
kajian, misalnya tentang transformasi superhero komik yang kini banyak
ditampilkan dalam sinema. Superhero-superhero lokal pun bermunculan, sebagian
lahir orisinil dari nilai lokal, sebagian lagi merupakan transformasi
mentah dari karakteristik superhero Amerika yang diadaptasi dengan
citarasa lokal. Kehadiran superhero juga bisa dilihat dari bermacam
teori kontemporer seperti posmodernisme, psikoanalisis, relasi gender, politik
identitas, dan sebagainya. Dari kajian ekonomi politik, diskusi tentang rahim
superhero penguasa dunia seperti, Marvel, DC Comics, atau Disney menarik untuk
dibedah sebagai bagian dari emporium superhero dunia.
Kelas
Sosial pada sosok Toni Stark
Menurut Worang (1983; 88), yang
dimaksud kelas sosial adalah semua orang dan keluarga yang sadar akan kedudukan
mereka dalam suatu lapisan dan diakui oleh masyarakat umum. Sama halnya dengan
lapisan sosial, kelas sosial juga mempunyai arti sama tanpa adanya perbedaan
mengenai dasar lapisan yang berupa uang, tanah, kekuasaan atau dasar lainnya.
Ada juga yang menggunakan istilah kelas yang hanya berdasarkan unsur ekonomis,
sedangkan lapisan masyarakat lebih kepada asas kehormatan masyarakat yang
dikenal dengan kelompok kedudukan atau “status group”. Ia juga menambahkan
bahwa adanya kelas sosial dalam masyarakat membedakan kedudukan dan peranan
masing masing individu yang disebut status.
Setiap orang pada umumnya memiliki lebih dari satu status. Semakin kecil
dan semakin sederhana suatu masyarakat akan semakin kecil atau sedikit juga
status yang diperankan oleh masing masing individu dalam suatu kelas sosial.
Dapat diambil kesimpulan bahwa ciri-ciri masyarakat yang sederhana tidak banyak memiliki perbedaan sosial.
Menurut Soekanto (1982: 231), Di
antara lapisan atas sampai terendah. Jumlahnya dapat ditentukan oleh orang yang
mempelajari di dalam masyarakat itu sendiri. Biasanya golongan yang berada di
lapisan atas tidak hanya memiliki satu macam saja dari apa yang dihargai oleh
masyarakat, akan tetapi kedudukan tinggi itu bersifat kumulatif, ini berarti
bahwa mereka yang mempunyai uang banyak, akan mudah sekali untuk mendapatkan
tanah, kekuasaan dan mungkin juga kehormatan. Ukuran untuk menggolongkan
anggota-anggota masyarakat tersebut:
- Ukuran kekayaan.
Ukuran kekayaan dan
kebendaan dapat dijadikan patokan ukuran; barang siapa memeiliki banyak
kekayaan, termasuk dalam lapisan teratas. Kekayaan tersebut misalnya, dapat
dilihat pada bentuk rumah yang bersangkutan, mobil pribadinya, cara-caranya
mempergunakan pakaian. Kebiasaan membeli barang-barang mewah.
- Ukuran kekuasaan.
Siapa saja yang
mempunyai kekuasaan besar ia juga menempati lapisan yang tertinggi.
- Ukuran Kehormatan.
Ukuran kehormatan
tersebut tidak terlepas dari 2 ukuran sebelumnya. Orang yang paling disegani
dan dihormati mempunyai tempat yang teratas. Ukuran ini banyak dijumpai di
masyarakat tradisionil. Biasanya mereka adalah yang tertua atau pernah berjasa
bagi masyarakat.
Dalam konsep Habitus kemudian
mempunyai keterkaitan tersendiri dengan individu. Menurut Boridieu (dalam
Jenkins, 2000: 107), Bourdie mempertahankan beberapa makna asli konsep dalam
hubungan tubuh dengan habitus. Dalam karya Bourdieu kemudian menghasilkan tiga
makna, pertama, dalam nalar sepele, habitus hanya ada dalam kepala yang
merupakan bagian dari tubuh. Kedua, habitus hanya ada di dalam, melalui dan
disebabkan praksis, aktor, dan interaksi antara mereka dengan lingkungan yang
melingkupi; cara berbicara, cara bergerak, cara membuat sesuatu, atau apapun
itu. Dalam hal ini habitus secara empatis bukanlah satu konsep yang bersifat
abstrak maupun idealis. Hal ini tidak hanya termanifestasi dalam perilaku,
namun berupa suatu bagian integral darinya (begitu juga sebaliknya). Ketiga
berupa taksonomi praktis, dimana sekema generatif habitus, berakar di dalam
tubuh. Sebagai contoh adalah depan/belakang, atas/bawah, panas/dingin,
laki-laki/perempuan, semua hal tersebut dapat diakses pancaindra-dalam
menalarkan dan berakar dalam pengalaman sensoris- dari cara pandang orang yang
disimpulkan.
Film sekuel Iron Man ini
menceritakan tentang teknologi yang dimiliki oleh Iron Man membentuk perbedaan
kelas dan gaya hidup tersendiri dengan karakter tokoh lain dalam film. Sebagai
contoh adalah Sosok Iron Man yang memiliki tenaga tersendiri dalam menghidupkan
baju besi perangnya (Armour). Benda yang disebut Arc Reactor menjadi pusat
energi sebagai pembangkit tenaga baju perangnya (Armour) Iron Man. Selain
digunakan sebagai tenaga Iron Man, Toni Stark juga menggunakannya sebagai alat untuk bertahan hidup. Alasannya
adalah karena dalam komponen nan canggih ini memiliki sumber daya palladium, dimana
alat tersebut dapat membantu menetralisir serpihan besi yang ditanamkan oleh
musuh dalam tubuh Toni stark, jika tidak ada serpihan besi yang ada dalam
tubuhnya bisa menusuk jantung. Bandingkan dengan teknologi yang di miliki oleh
musuh Iron Man pada film yang pertama. Sekelompok teroris
Afghanistan yang dikenal sebagai Sepuluh Cincin dalam mendapatkan teknologi untuk
tindak kejahatan, terlebih dahulu harus menyerang Toni Stark dan menyandranya.
Gambar. 1.1. Beberapa cuplikan
adegan pada film Iron Man I dan II, bagaimana Toni Stark membangun relasi
dengan lingkungannya, bagaiamana cerminan gaya hidupnya, hingga teknologi yang
tidak bisa terlepaskan darinya.
Jika dilihat perannya dalam film
menjadikannya Toni Stark sebagai orang yang memposisikan diri ke dalam
lingkungan yang dianutnya, lingkungan sebegai tempat bersosialisasi. Ia
menampilkan dirinya sebagaimana lingkungan membentuknya. Adanya kekuasaan dalam
hal kekayaan menjadikannya orang yang suka menghamburkan uangnya, terlihat
bagaiamana ia bermain judi. Dalam kesehariannya pun tidak terlepas dari wawasan
ilmu pengetahuannya untuk berinovasi menciptakan teknologi-teknologi baru.
Tidak sampai disini bagaimana ia menjadi orang yang kaya raya menjadikannya
sosok yang terkenal mempunyai banyak jaringan relasi baik itu teman kerja, angakatan
militer, hingga masyarakat umum yang menjadi fansnya. Cara bersosialisasi
dengan yang lainnya pun unik, ia tidak terbuka dengan semua orang, hanya pada
orang-orang terdekatnya lah ia memberikan kepercayaan. Seperti halnya
kedekatannya dengan Virginia "Pepper" Potts (Gwyneth Paltrow)
sebagai asisten pribadinya, dan James Rhodes (Don Cheadle).
Kemudian hal ini sejalan dengan
konsep arena. Menurut Bourdie (dalam Jenkins, 125), arena itu sendiri merupakan
suatu sistem posisi sosial yang tersetruktur yang dikuasai oleh individu atau
institusi suatu inti yang mendefinisikan situasi untuk mereka anut. Suatu
sistem kekuatan juga ada di antara posisi tersebut; suatu arena yang
dikonstrukan secara internal dalam konteks relasi kekuasaan. Mempunyai sisi
dalam relasi dengan dominasi, subordiansi atau ekuivalensi (homologi) satu sama
lain karena akses yang dapat mereka raih atas benda atau sumber (modal) yang
dipertaruhkan di arena. Benda-benda ini secara prinsipil dapat menjadi empat
kategori: modal ekonomi, modal sosial (berbagai jenis relasi bernilai dengan
pihak lain yang bermakna), modal kultural (pengetahuan sah antara satu dengan
yang lainnya) dan modal simbolis (prestise dan gengsi sosial).
Selain itu, apabila ditelaah lebih
lanjut cara penampilan diri Toni Stark dengan menggunakan baju perang Iron Man ini
mempunyai tujuan sebagai bentuk bagaiamana ia menampilkan dirinya kehadapan
dunia, bagaiaman ia memiliki kekuasaan, bagaiaman keududukannya berdasarkan
peran dan status sosialnya. Menurut Mulyana (2010: 392), nilai-nilai yang ada
pada agama, kebiasaan, tuntutan lingkungan (baik itu tertulis atau tidak),
nilai kenyamanan, dan tujuan pencitraan, mempengaruhi bagaimana seseorang
berpenampilan. Selain itu menurut Mulyana (2010: 394), sebagian orang mempunyai
pandangan bahwa pilihan seseorang mengenai cara berpenampilannya mencerminkan
kepribadiannya, apakah ia orang yang konservatif, religius, modern, atau
berjiwa muda. Tidak dapat pula dipungkiri bahwa pakaian, semisal; rumah,
kendaraan, dan perhiasan, digunakan untuk memproyeksikan citra tertentu yang
diinginkan pemakainya. Pemakai busana mengaharapkan bahwa orang-orang yang
melihatnya mempunyai citra terhadapnya sebagaimana yang diinginkan. Orang-orang
dengan jabatan khusus sangat memperhatikan penampilan. Mereka berpakaian bukan
sekedar menutup tubuh, tetapi juga berusaha menciptakan kesan yang positif
terhadap orang lain. Pria eksekutif bahkan sangat teliti dalam memilih dasi,
sapu tangan, tas, sepatu, dompet, dan buku agenda (diary) yang mereka gunakan.
Gambar 1.2. Beberapa scene gambar dari
film Iron Man I, II, dan III yang menampilkan bagaiamana ikon-ikon kelas sosial
atas yang tercerminkan.
Lebih lanjut, sosok Iron Man membawa
dirinya ke dalam lingkungan dan dunia yang serba modern dan megah. Dalam
kehidupannya, sosok Toni Stark dipenuhi dengan teknologi canggih. Kehidupannya
diwarnai dengan berbagai alat yang ada di lingkungan tempat tinggalnya. Seperti
disain rumah yang megah, kendaraan yang mewah, ruangan kerja berteknologi
canggih, kemudian Jarfis (sistem kecerdasan buatan). TIdak hanya itu, ketika
berpergian keluar lingkungan rumahnya pun, ia menggunakan setelan pakaian rapi
elegan, dan memakai mobil mewah, pesawat terbang pribadi dan atau pakaian tempur
nan mewah dalam berpergian. Hal ini kemudian mengambarkan setatus kelas sosial
ekonomi atas berdasarkan kepemilikan akan barang-barang tersebut. Ikon-ikon
yang ada dalam lingkungannya kemudian menjadi pendukung bagaimana kelas sosial
atas tercerminkan pada film Iron Man ini. Ikon-ikon tersebut meliputi
barang-barang yang dimiliki Toni Stark, rumahnya sebagai tempat tinggal,
teknologi yang ia ciptakan hingga segala hal yang tampak secara fisik yang ada
pada dirinya
Ada momen menarik ketika Toni Stark menonton
Grand Prix Formula One di Monaco, ia yang tadinya hanya menggobrol sebelum
balapan dimulai, tiba-tiba terjun ke arena balapan sebagai pembalap. Dalam film
digambarkan bahwa Toni Stark memiliki kuasa penuh dalam segala bidang, mencakup
juga bidang Otomotif. Di arena Balap ia sebagai pembalap dari Perusahaannya
sendiri yaitu Stark Industri, ia mengambil alih mobil dari pembalap yang
sebelumnya. Terlihat juga exspresi kecewa pembalap sebelum Toni Stark yang
ingin balapan. Akan tetapi Toni Stark tidak menghiraukannya, tetap fokus untuk
membalap.
Jika melihat tindakan yang dilakukan
Toni Stark yang melakukan inisiatif sendiri pada saat balapan formula one
mengarah kepada disposisi pada teori habitus. Menurut Robbins (dalam Jenkins,
1992: 110), definisi dasar Bourdieu mengenai habitus memerlukan pertimbangan
lebih lanjut. Sebagai contoh disposisi tidak lebih dipahami sebagai sikap.
Sehingga hal ini merupakan suatu pemahaman yang memadai atas pandangan itu,
meskipun sikap mengarah kepada hal yang ditunjuk. Lebih luasnya lagi adalah
tafsir yang memasukkan faktor kognitif dan afektif: pemikiran dan perasaan,
yang menggunkan rumusan Bordieu sendiri, semenjak klasifikatoris sampai dengan
rasa harga diri.
Berangkat dari sini kemudian muncul
alasan mengapa superhero muncul dari kalangan kelas sosial atas. Adanya kekuasaan
yang terselimuti di dalamnya menjadi hal yang berpengaruh. Pahlwan super
digambarkan sebagai wujud atas kebebasan imajinasi. Kebebasan disini didasari
karena adanya kekuasaan yang dibawa oleh tokoh pahlawan supernya. Seperti
halnya pada diri Toni Stark kekuasaan besar menyelimutinya sebagai orang yang
kaya raya, mampu melakukan apa saja. Keberadaannya pun seakan menjadi sosok
sentral dalam film yang tidak bisa dilepaskan dari sosok Iron Man. Kekuatan
yang dimilikinya menjadikannya memiliki kuasa dalam menciptakan teknologi
super, mempunyai previlage dalam
mendapatkan akses informasi, hingga pengambaran imajinasi yang berbeda dengan
masyarakat pada umumnya, dimana kebenaran selalu menjadi pemenangnya.
Selaras dengan hal ini Menurut
Yusuf (https://bincangmedia.wordpress.com,
akses 7 Juli 2015), kehadiran superhero muncul pada arena yang luas. Arena
tersebut mencakup penyaluran pada ruang imajinasi. Ruang pembebasan dari dunia
nyata, ruang itu dihadirkan kedalam dunia yang memiliki identitas baru tanpa
batas. Ide-ide ditampilkan meliputi kebebasan, keadilan, kebenaran. Hingga pada
ahkirnya sosok superherolah yang selalu menang yang digambarkan selalu memiliki
kebenaran. Superhero akhirnya menjadi ruang aneka kepentingan, tak hanya imaji
dan fantasi, melainkan ideologisasi nilai-nilai. Sebutlah tentang westernisasi,
amerikanisasi, pemujaan maskulinitas, strereotip gender, dan berbagai
propaganda lainnya yang menyertai sosok superhero, di balik nilai-nilai
universal yang selalu ditonjolkan seperti kebenaran akan selalu menang,
kewajiban membela yang lemah, kekuatan/kekuasaaan besar memiliki tanggung jawab
besar, dan lain-lain.
KESIMPULAN
Cerita dari film memang menceritakan
bahwa Iron Man mampu menjaga perdamaian dunia. Namun cerita film tidak bisa
terlepas tentang bagaimana Toni Stark menampilkan dirinya. Terdapat suatu hal yang sama ketika dirinya
muncul menggunakan baju perang Iron Man, dirinya selalu muncul digambarkan
bagaikan superstar, tidak luput juga diiringi musik yang keren. Hal ini
menampilkan bagaimana Ia sesungguhnya, ia menampilkan dirinya sebagai Iron Man
kepada dunia. Apa yang dilakukan Toni Stark terbentuk secara tidak disadari.
Bisa jadi pengaruh bagaimana dirinya menjadi Iron Man merupakan faktor
utamanya. Dari cara penampilan diri Toni Stark pun mengarahkan pada bentuk
pencitraan. Toni Stark terlahir dari keluarga yang mengembangkan
teknologi, dan keluarga berkecukupan, ini kemudian menjadi faktor pengguatnya.
Di lain sisi Tokoh utama dalam film ini tidak bisa berdiri sendiri dalam
menghadirkan kedudukannya pada lapisan sosialnya, keberadaan orang-orang
disekitarnya menjadikannya mempunyai kedudukannya tersendiri. Orang-orang
disekitarnya mempunyai perbedaan dengan tokoh utama dalam film. Perbedaan
tersebut tercerminkan bagaimana peran dan satatus masing-masing dalam film.
Berdasarkan penjelasan Worang (1983;
94), status seseorang dengan orang lainnya bersifat timbal balik. Seseorang tidak
bisa berperan sesuai statusnya tanpa orang lain dengan status lain pula yang
menghubungkan peranan itu. Dalam menjalankan kegiatan antar kelas sosial,
status dan peranan meskipun berbeda tidak dapat dipisah-pisahkan. Tidak ada
status tanpa peranan, juga tidak ada peranan tanpa adanya status. Akan tetapi
seringkali perbedaan status dan peranan individu antar kelas sosial menimbulkan
pertentangan. Pertentangan timbul karena setiap individu tidak menjalankan
perannya sesuai status mereka. Setiap status harusnya bersifat positif terhadap
lapisan lapisan dalam masyarakat. Ada kelompok yang memimpin dan ada kelompok
yang dipimpin, ada kelompok majikan ada kelompok buruh dan seterusnya sesuai
status yang memang seharusnya dilakukan dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan
begitu kegiatan sosial dalam masyarakat akan berjalan dengan baik meski ada
perbedaan kelas sosial.
Film sekuel ini menceritakan tentang
teknologi yang dimiliki oleh Iron Man membentuk perbedaan kelas dan gaya hidup
tersendiri dengan karakter tokoh lain dalam film. Sebagai contoh adalah Sosok
Iron Man yang memiliki tenaga tersendiri dalam menghidupkan baju besi perangnya
(Armour). Benda yang disebut Arc Reactor menjadi pusat energi sebagai
pembangkit tenaga baju perangnya (Armour) Iron Man. Bandingkan dengan teknologi
yang di miliki oleh musuh Iron Man pada film-film ini, kebanyakan teknologinya
tidak mampu menandingi apa yang menjadi teknologi dari Iron Man. Teknologi
inilah yang kemudian menjadi sesuatu pembeda antara Iron Man dan tokoh yang lain
yang ada pada film. Teknologi disini menjadi sesuatu yang dihargai. Maka dari
itu kedudukan Toni Stark memiliki kedudukan yang tinggi kedudukan kelas sosial
yang berbeda dengan yang lain. Kedudukan yang dimilikannya pun merupakan
kedudukan kelas sosial atas hal ini tercermin dari bagaimana cara ia
berpenampilan, bagaimana status dan perannya dikehidupan sosial.
Menurut Soekanto (1982: 231), selama
dalam suatu masyarakat ada suatu hal yang dihargai oleh masyarakat tersebut,
maka itu akan menjadi bibit yang akan menumbuhkan adanya sistim berlapis-lapis
dalam masyarakat yang bersangkutan. Barang atau hal yang dihargai dalam
masyarakat bisa berupa, uang atau harta benda, mungkin berupa tanah, kekuasaan,
ilmu pengetahuan, dan sebagainya. Barang siapa yang memiliki sesuatu yang
banyak tadi dengan jumlah yang banyak, akan dianggap masyarakat memiliki
setatus kedudukan lapisan atas; sebaliknya mereka yang hanya sedikit atau
bahkan sama sekali tidak memiliki sesuatu yang berharga tersebut, dalam
pandangan masyarakat hanya mempunyai kedudukan rendah.
DAFTAR PUSTAKA
Burton, Graeme. Media dan Budaya Populer, terj. Hodder
Arnold. Yogyakarta: Percetakan Jalasutra, 2012.
Pratista, Himawan. Memahami Film. Yogyakarta: Homerian
Pustaka, 2008.
Mulyana, Deddy. ILMU KOMUNIKASI Suatu Pengantar. Bandung:
PT REMAJA ROSDAKARYA, 2010.
Barker, Chris. CULTURAL STUDIES Teori dan Praktek, terj. Nurhadi. Yogyakarta: KREASI WACANA, 2000.
Jenkins, Richard. Membaca Pikiran Pierre Bourdieu, terj. Nurhadi.
Yogyakarta: Kreasi Wacana, 1992.
Soekanto, Soerjono. Sosiologi Suatu
Pengantar. Jakarta: Radar Jaya Offset, 1982.
Worang, Buddy L. Pengantar
Sosiologi Suatu Ringkasan. Yogyakarta: Penerbitan Universitas Atma Jaya
Yogyakarta, 1983.
Yusuf, Iwan,
Awaludin, “Menyelami Dunia Superhero Lewat
Kajian Komunikasi.” https://bincangmedia.wordpress.com
(akses 7 Juli 2015).
*Apabila
mengutip tulisan ini, mohon sertakan sumber yang lengkap dari penulis, dan
gunakan pengutipan yang baik dan benar, terima kasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar