Mencoba Berdiskusi
Oleh: Aji Muhammad Said
via unsplash
Dalam diskusi kata-kata seperti ini sering
terdengarkan atau bahkan kalimat seperti ini “saya belum paham” atau “coba
jelaskan lagi,” juga sering muncul. Ya penting bagi seseorang berpendepat dan
memberi penjelasan yang baik dalam berdiskusi. Lalu bagaimana cara berdiskusi
yang baik ketika dalam diskusi kita menemui problem berupa perbedaan. Apakah
sikap tegas bisa diterapkan, atau sikap acuh tak acuh yang ditekankan, atau
penggunaan sikap sepemahaman? Ketika mencari sebuah jawaban atas pertanyaan
tentunya harus ada dasar yang menjadi pondasi. Dasar yang baik dan relevan akan
membuat diskusi lebih terarah dan kesepahaman akan solusi bersama.
Dalam sudut pandang Islam terdapat etika dalam
berdiskusi; seseorang haruslah melihat bagaimana cakupan ide yang sedang
didiskusikan. Ini merupakan tindakan seseorang dalam membangun pendapat atau
argumentasinya. Langkahnya adalah melihat dulu argument atau pendapat yang
salah (belum benar), lalu meluruskannya pada titik yang benar. Berdiskusi atau
berdebat mengandung dua sifat yang alami, membangun sebuah pendapat, atau
merobohkan sebuah pendapat. Apabila menganalisis lebih lanjut, dalam Al-qur’an QS. Al-Baqarah [2]: 258 telah diterangkan (bagaimana
berdebat), Nabi Ibrahim berdebat dengan orang-orang kafir, bahwa Allah dapat
menghidupkan dan mematikan manusia, namun orang-orang kafir menyangkalnya
dengan bisa melakukan hal yang sama. Tentunya Nabi Ibrahim mendebat mereka
dengan baik, melalui penyataan bahwa, Allah menerbitkan matahari dari timur,
dan mencoba menyuruh orang-orang kafir menerbitkannya dari barat, hal yang
tidak mungkin mereka bisa melakukannya, dan ini pun membuat mereka terdiam.
Seperti yang sudah dijelaskan pada awal paragraph,
ketika berdebat tentunya harus menggunakan cara-cara yang baik (beretika). Ini
mempunyai arti bahwa berpendapat pun haruslah mempunyai patokan yang jelas.
Lalu, apa yang bisa kita jadikan patokan? Tentunya yang sudah terbutki dan
menjadi dasar pedoman bersama, bagi muslim ini adalah Al-Qur’an dan Al-Hadits.
Bukan berdasar pada subjektivitas pribadi (“pokoknya”), “kata”-nya, atau akal
pikiran. Adapun menggunakan pemikiran yang logis, tentunya haruslah rasional,
sesuai fakta, bukan sekedar sangka-prasangka, ataupun berfilsafat. Bahkan ada
hadist yang menganjurkan dengan tegas, apabila belum tahu secara pasti, maka
cukuplah dengan berdiam diri. Berikut adalah haditsnya, “ Barang siapa yang beriman pada
Allah dan hari ahkir maka hendaklah berkata baik atau lebih baik diam” (HR. Bukhari Muslim).
Selanjutnya adalah memperhatikan lawan yang menjadi
teman diskusi yang kita lakukan. Sungguhlah penting melihat siapa yang menjadi
partner diskusi, hal ini memiliki alasan bahwa teman diskusi harusnya seseorang
yang menginginkan dan mencari kebenaran, tidak sekedar mendebat, atau bahkan
menjadikan diskusi ini tindakan dalam memperolok-olok. Allah berfirman “Tidak ada satu kaum yang tersesat setelah
mendapatkan petunjuk, melainkan karena mereka suka berdebat” Rasullulah
Saw, kemudian membacakan ayat yang isinya, “Mereka
tidak memberikn perumpamaan itu kepadamu melainkan dengan maksud membantah
saja, sebenarnya mereka adalah kaum yang suka bertengkar.” (QS. Az-Zukhruf [43]:58), (HR.Tirmidzi,
Ibnu Majah dan Ahmad).
Perhatikan dengan seksama apa yang menjadi topik
pembicaraan. Tentunya ketika berdiskusi dengan mendebatkan sesuatu yang tidak
dianjurkan, lebih baik meninggalkannya, ini memiliki titik poin penting pada
sesuatu yang tidak ada manfaatnya, atau perkara-perkara yang tidak meningkatkan
keimanan sama sekali, penting bagi kita untuk konsisten, dan tidak keluar
jalur. Sedikit tambahan tips ketika berdiskusi yakni berpikir dengan mengikuti
zaman dengan logis, rasional, ilmiah, berreferensi, dan universal. Akan menjadi
nilai plus adalah mempunyai etika yang baik (sopan-santun).
*Apabila
mengutip tulisan ini, mohon sertakan sumber yang lengkap dari penulis, dan
gunakan pengutipan yang baik dan benar, terima kasih.