Rabu, 27 Maret 2019

Catatan_Kidung & Suluk


Bismillahirrahmanirrahim
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang



1.      KIDUNG

Kidung adalah karya sastra Jawa zaman abad Pertengahan masa kerajaan Majapahit akhir, yang banyak menggunakan bahasa Jawa Tengah berbentuk tembang, baik nama maupun metrum yang dianut seperti halnya Tembang Macapat. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kidung berarti nyanyian, lagu (syair yang dinyanyikan), serta puisi.

Kidung-kidung di bawah ini diambil dari tradisi historis mengenai kerajaan Majapahit. Adapun lingkupnya ialah: peristiwa-peristiwa yang menyebabkan jatuhnya kerajaan Singasari serta didirikannya kerajaan baru untuk sebagian meneruskan kerajaan sebelumnya.

Pertikaian-pertikaian di dalam tubuh kerajaan baru selama puluhan tahun pertama sejak berdirinya kerajaan Singasari. Informasi berikut menjadi pendapat dan analisis yang menyatakan bahwa kisah-kisah-kisah ini berakar pada kenyataan sejarah. Sastra Kidung juga merupakan sumber informasi penelitian sejarah kebudayaan bangsa.  diantaranya adalah; Kidung Harsawijaya, Kidung Ranggalawe, Cerita-cerita Panji, Kidung Sorandaka, Kidung Waseng (Sari)

2.      SULUK

Sebuah kitab bernama Kanzul Hum karya Ibnu Bathutah yang sekarang disimpan di museum Istana Turki di Istanbul menyebutkan bahwa Walisongo datang ke Indonesia atas perintah Sultan Muhammad I untuk menyebarkan agama Islam. Dalam mengembangkan Agama Islam dan budaya Jawa, tercatat Sunan Giri, mengajarkan ke orang dewasa tembang-tembang Jawa yang beliau ciptakan sendiri. Meliputi, Asmarandana dan Pucung, dua  tembang dari macapat.  Yang pertama berarti api asmara, biasanya untuk mengungkapkan rasa cinta kasih. Tembang ini terdiri dari tujuh  baris dan guru lagu (jumlah suku kata)  dan guru swara (bunyi akhir bait).

Untuk anak-anak, beliau menciptakan beberapa permainan, seperti, “jentungan” atau permainan bersama disertai lagu dolanan  seperti, “jamuran”,”cublak cublak suweng”,“jilumper,” dan, ”gula ganti” serta masih banyak lagi permainan lainnya yang sebenarnya mempunyai makna tersirat, yaitu mengajarkan mencintai Allah, tidak buta akan kecintaannya pada dunia. Alasan Sunan Giri berdakwah dengan membuat dolanan dan tembang adalah karena pada zaman itu, di daerah jawa masih kental denga pengaruh indu budha. Budaya yang terkenal adalah tembang dan wayang, sehingga Sunan Giri memiliki inisiatif mrmbuat tembang macapat yang kanugannya mengajarkan tentang ketauhidan dan nasihat – nasihat agar tidak terlalu cinta terhadap dunia.

Tidak cukup sampai di situ, Sunan Bonang pun membuat salah satu perangkat gamelan yang merupakan perangkat krusial dalam gamelan, Bonang. Pada masa lampau, alat musik mini sering diigunakan untuk gamelan pengiring pertunjukan wayang  kulit, juga digunakan oleh aparat desa untuk menyebarkan woro-woro (al amri, muhammad wildan dalam Akulturasi Budaya Jawa dengan Islam).
Selain itu, Maulana Malik Ibrahim menciptakan tembang suluk, gundul-gundul pacul, Sunan Drajat (Raden Qosim) dengan tembang pangkur, sunan kalijaga (raden mas syahid); babad alas wonomerto, tembang dandanggula,  sunan kudus (jakfar sadiq); tembang maskumambang dan mijil, dan  sunan muria; tembang sinom dan kinanti. Wayang kulit dikembangkan sunan kalijaga sebagai pengganti wayang beber, wayang yang pada masa Majapahit terbuat dari kertas yang lebar (portal kisah dunia). Dari gambaran singkat di atas, kita bisa membayangkan bahwasanya budaya di tanah Jawa atau pun nusantara tidak terlepas dari pengaruh Islam dan Kekhilafahan Islam Utsmani. Hal ini datang dari spirit kewajiban untuk menyebarkan dakwah Islam ke seluruh manusia.

Refrensi:

·         (al amri, muhammad wildan dalam Akulturasi Budaya Jawa dengan Islam).
·         (portal kisah dunia).
·     http://www.nu.or.id/post/read/91005/kidung-kawedar-sunan-kalijaga-kaji-asal-dan-tujuan-manusia



*Apabila mengutip tulisan ini, mohon sertakan sumber yang lengkap dari penulis, dan gunakan pengutipan yang baik dan benar, terima kasih.

Tidak ada komentar: