Selasa, 10 September 2019

Repost_www.blog.wonosobomuda.com_Opini_Nasib Wayang di Era Generasi Milenial




Nasib Wayang di Era Generasi Milenial

Oleh: Aji Muhammad Said, S.I.Kom.


dok.pribadi.

Beranjak di Era serba digital ini, Indonesia menjadi sebuah negara yang tidak luput dari perkembangan budaya dan teknologi. Banyak sekali kegiatan, gaya hidup yang berkembang secara dinamis. Mulai dari pekerjaan konvensional menjadi pekerjaan yang praktis, ringkas dikerjakan. Sebagai contoh, pembuatan karya seni lukis, pembuatannya dikerjakan secara manual, dengan kuas, cat air, yang dilukiskan pada canvas, namun kini sebuah lukisan tidak memerlukan berbagai media dalam pembuatannya, cukup dengan satu komputer, dalam beberapa menit bisa membuat lukisan secara digital tanpa waktu yang lama. Kehadiran komputer tidak hanya memudahkan, namun memberi ruang bagi pelukis gaya baru untuk berkarya. Karyanya berupa vektor ataupun artwork digital, selain itu komputer mampu menyuguhkan berbagai hiburan secara digital. Memberikan kemudahan akses bertukar informasi, hobi, hingga kompetisi.

Inilah kemudian diikuti kelahiran generasi-generasi yang melek akan media, generasi yang tanggap terhadap teknologi, dan perubahan yang bersifat dinamis. Banyak media masa/ media sosial membentuk generasi dengan julukkan baru, yakni generasi milenial. Ciri-cirinya ketika mengamati adalah paham terhadap gadget, selalu ter-update terhadap berbagai informasi, problem sosial-politik, hingga trend yang ada di masyarakat. Generasi ini, lahir di era dunia yang serba instan, segalanya dituntut untuk cepat nan praktis, sehingga apapun yang dibutuhkan haruslah cepat terpenuhi. Terbukti dengan kemunculan platfrom media sosial, maupun forum jual beli online (fjb) yang memberikan aksesibilitas data yang mudah dalam penggunaannya.

Kehadiran generasi milenial bukan tanpa problem yang mengikuti ketika generasi ini berkembang. Ketika informasi yang sifatnya baru muncul, dianggap oleh generasi ini sebagai hal yang menarik, populer, dan memiliki kecenderungan disukai, itu akan berdampak pada berbagai situasi lanjutan dan tindakan lanjutan. Situasi-situasi dimana mereka akan menerima hal tersebut, menirunya, meyakini sebagai cara pandang, sebagai motivasi diri, hingga sesuatu yang dapat dimodifikasi, dapat dikatakan menciptakan karya-karya baru. Generasi ini juga menjadi generasi yang sangat kreatif dan memiliki pola pikir yang terbuka. Media massa sosial menjadi platform mereka untuk berkereasi menunjukkan eksistensi masing-masing dari diri mereka.

Jangan kaget zaman digital ini, banyak karya-karya dari generasi milenial muncul mewarnai seni dan kebudayaan Indonesia. Kemunculan dengan berbagai konten kreatif, menunjukkan hegemoni dan dominasi generasi ini di eranya. Seperti pepatah atau selogan yang mengatakan bahwa “Sebuah kreativitas lahir tanpa batas”. Kemunculan kreasi-kreasi ini berasal dari berbagai segi dan platfrom, tidak jarang juga mampu menarik perhatian masyarakat global. Kemunculannya menjadi api pemantik bagi kemunculan karya-karya lainnya. Seperti tongkat estafet yang selalu berpindah-pindah dari para pelari, generasi milenial adalah pelari yang tidak pernah kehabisan energi (karya).

Konten dan kreativitas merupakan dua makna yang berbeda yang digabungkan menjadi satu. Istilah konten kreatif merujuk pada karya-karya anak muda, yang mampu menghasilkan kreativitas out of the box (tidak biasa). Sebagai contoh tren sekarang yang digemari, adalah hiburan digital berupa video blog (vlog di youtube), banyak karya yang muncul dengan konten secara digital audio visual menampilkan pertunjukkan, konten video bercerita dengan berbagai tema anak muda. Ini tidaklah menjadi acara pertunjukkan semata, namun menjadi karya yang telah teroganisir, dan ter-eksplorasi, yang bisa menghasilkan ladang uang yang menguntungkan, dan itulah keunikannya.

Mencermati sejarah di masa lalu, Indonesia juga memiliki hiburan yang cukup apik di era kerajaan Demak (Raden Patah). Munculnya sebuah pertunjukkan wayang yang tidak kalah dengan pertunjukan digital di masa generasi milenial ini. Kemunculan Wayang Kulit Purwa menjadi tahapan awal sebuah seni pertunjukkan wayang Indonesia, dimana peran Raja Demak, dan Wali Sanga menjembatani kemunculan pagelaran pertunjukkan wayang berwujud seni dan dakwah ini.

Di masa kemuculan wayang ini kreativitas yang dimotori pedalang, pesiden (penyanyi), niaga (penabuh gamelan) memberikan efek seni hiburan, dan pendidikan yang berpengaruh pada sistem kepercayaan, tindakan berlandas nilai dan norma yang berbudi luhur. Ide yang muncul dalam  merupakan kreativitas pada kala itu yang juga luar biasa, karena dalam satu pertunjukkan saja bisa menampilkan berbagai seni maupun atraksi. Seni pertunjukan ini tidak hanya menampilkan wayang sebagai seni lukis, seni tatah, seni mengambar saja, tetapi ada seni suara, seni musik, hingga seni bercerita dan berdakwah dari top leadernya si pedalang.

Pada masa kemunculan wayang, tidak ada istilah event organizer  seperti sekarang ini, yang berorientasi pada pertunjukan bayaran. Pertunjukkan wayang dilaksanakan memiliki orientasi sebagai media penyebaran agama, dan pembangunan moral yang berbudi. Bahkan pementasan wayang ditujukan karena ada tasyakuran/hajatan, yang terlaksana dengan sinergi yang kuat antara pemerintah (Raja Demak), Seniman (Para Wali), hingga masyarakat (rakyat). Bersama bergotong royong, menampilkan konsep hiburan yang dibudidayakan melalui pengenalan tokoh, penyampaian cerita, diperkaya dengan tradisi masyarakat yang beragam. Dari sinilah mental dan watak masyarakat Indonesia terbentuk. Selain itu peran sentral dalang dalam pementasan wayang mampu menampilkan pertunjukkan komunikatif-informatif. Ini karena tema-tema kehidupan yang diangkat sangatlah dekat dengan kehidupan sosial masyarakat. Hal ini menegaskan juga bahwa wayang merupakan sebuah alat pendekatan masyarakat secara sosio-cultural.

Memperbandingkan konten kreatif wayang dengan konten kreatif budaya digital zaman sekarang sanggat jauh berbeda. Dimana dalam konten story telling wayang memberikan penegasan pada penyampaian dan penanaman budi pekerti, menuai dampak membentuk budaya dan karakter bangsa Indonesia, dengan salah satu contoh falsafah hidup seperti Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani (di depan memberi contoh, di tengah memberi semangat, di belakang memberikan daya kekuatan).

Sedangkan konten-konten kreatif zaman sekarang cenderung berkiblat pada budaya luar. Semisal budaya dance-fashion ala K-POP (Korea), cosplayer ottaku anime (Jepang), hingga film Box Office Hollywood (Barat). Memang tidak seperti wayang, budaya luar ini memiliki kecenderungan pada profit, dan penghasilan yang bersifat kapitalis. Itu memang bagus, patut diapresiasi, namun muncul kemudian pertanyaan seperti; Apakah budaya itu penting ? Dan bagaimana karakter sebuah bangsa dibangun oleh bangsanya sendiri? Lalu bagaimana nasib Wayang?

Generasi sekarang sebagai milenial tentunya tidak kekurangan bahan, apabila mau mengkaji, mengenal, bagaimana konsep wayang sebagai budaya sendiri. Hal inilah yang sebenarnya perlu dilakukan. Mencintai dan memberdayakan budaya sendiri. Ironis apabila konten kreatif yang disajikan, hanya berkiblat pada budaya milik bangsa lain. Konten-konten masa kini dibuat sekilas hanya bertujuan hanya berlandaskan keuntungan pribadi saja, mengenyampingkan unsur berkarakter Indonesia. Mau jadi apa ketika kelak budaya hanya menjadi timbunan materi. Uang bisa habis dan dicari, namun ilmu tidak bisa habis dapat dibagi dari generasi ke generasi inilah nilai budaya itu sendiri.

Informasi dan perubahan yang terjadi di dunia memang tidak bisa dihindari atau ditolak. Apalagi percampuran budaya semisal asimilasi, alkulturasi atau dalam bentuk yang lainnya. Tetapi sebagai bagian dari sebuah generasi, lucu saja apabila berpangku tangan, dan tidak peduli dengan budaya sendiri. Bukankah generasi milenial mempunyai sikap terbuka, mampu membawa perubahan, menjadi pelopor. Sehingga selalu ada solusi-solusi yang ditawarkan.

Harus ada tindakan nyata, misalnya memanfaatkan segala sumber daya secara kolektif maupun bernilai positif, demi merawat kebudayaan Indonesia. Tambahan era digitalisasi tidak akan menyempitkan pandangan. Justru inilah kesempatan emas memunculkan ide, gagasan baru dengan menampilkan wajah wayang Indonesia di pentas dunia. Celah selalu ada, untuk menuangkan ide-ide brilian. Manusia sebagai mahluk berbudaya pastinya bersifat dinamis, berubah namun jangan sampai hilang atau meninggalkan karakter keIndonesiaannya. Dengan era digital, selalu ada peralihan yang terjadi, wayang bisa dikonversi. Semisal menghadirkan wayang dengan ciri digital, entah itu pertunjukkannya, pembuatannya, atau wayang jenis baru. Konversi wayang dengan medium berbeda, yakni wayang bergaya milenial misalnya.

Apabila digambarkan pada tokoh dunia pewayangan generasi ini harus mantap dan kuat seperti Karakter Bima, cerdas dan cerdik seperti Krisna, jangan hanya mbebeki (mengekor budaya luar). Semua berada pada pilihan ditangan masing-masing. Menjadi generasi emas tidaklah sulit, hanya perlu mencatatkan sejarah sebagai generasi yang mengharumkan nama Indonesia. Dari ketokohan wayang kita bisa belajar bagaimana sebuah watak ideal seorang kesatria. Kemudian dari segi alur cerita seperti Ramayana, kita bisa belajar bahwa kita harus berjuang untuk apa yang kita cintai, berjuang dan tidak menyerah untuk mencapai sesuatu.

Bangsa Indonesia terlahir berdasarkan rasa integritas dan persatuan-kesatuan yang tinggi. Membangun sebuah generasi artinya membangun juga pendidikannya. Pendidikan yang bagaimana ? tentunya adalah pendidikan yang mampu meningkatkan kebudayaan itu sendiri, dengan adanya pendidikan budaya bisa ditransfer dari generasi ke generasi. Manusia sebagai mahluk berakal tentunya juga harus berevolusi untuk meningkatkan kualitas hidup, melakukan perubahan bernilai guna. Nilai-nilai yang sama seperti tujuan pendidikan nasional yang juga berasaskan pada Pancasila. Pendidikan yang memiliki tingkatan, dan bernilai kemanusiaan.

Perlu dipahami juga, bahwa budaya merupakan sumber nilai pendidikan karakter bangsa. Sebuah bangsa dikenali berdasarkan karakternya. Indonesia memiliki wayang, adanya wayang bisa menumbuhkan sikap empati, dan kepemilikan, bisa juga kemudian berkembang menjadi support system yang baik dalam menyelenggarakan pendidikan maupun kebudayaan. Jangan sampai kalah dengan budaya-budaya yang menjadi trend belakangan ini. Kita perlu menunjukkan dan membuktikan, bahwa Indonesia memiliki wayang sebagai ciri khas dan harta karun yang mampu menguncangkan dunia. Wayang milik kita generasi milenial, dan kita adalah Indonesia. Wayang merupakan budaya nasional, bukan budaya Impor. Pengindonesiaan dengan pementasan dan memperluas jangkauan budaya wayang penting dilaksanakan. Alasannya, karena kehadiran wayang merepresentasikan pendidikan, psikologi, filsafat, dan watak hidup bangsa Indonesia.




*Apabila mengutip tulisan ini, mohon sertakan sumber yang lengkap dari penulis, dan gunakan pengutipan yang baik dan benar, terima kasih.

Tidak ada komentar: