Nasib Wayang di Era Generasi Milenial
Oleh: Aji Muhammad
Said, S.I.Kom.
Beranjak di Era serba digital
ini, Indonesia menjadi sebuah negara yang tidak luput dari perkembangan budaya
dan teknologi. Banyak sekali kegiatan, gaya hidup yang berkembang secara
dinamis. Mulai dari pekerjaan konvensional menjadi pekerjaan yang praktis,
ringkas dikerjakan. Sebagai contoh, pembuatan karya seni lukis, pembuatannya
dikerjakan secara manual, dengan kuas, cat air, yang dilukiskan pada canvas,
namun kini sebuah lukisan tidak memerlukan berbagai media dalam pembuatannya,
cukup dengan satu komputer, dalam beberapa menit bisa membuat lukisan secara
digital tanpa waktu yang lama. Kehadiran komputer tidak hanya memudahkan, namun
memberi ruang bagi pelukis gaya baru untuk berkarya. Karyanya berupa vektor
ataupun artwork digital, selain itu komputer mampu menyuguhkan berbagai hiburan
secara digital. Memberikan kemudahan akses bertukar informasi, hobi, hingga
kompetisi.
Inilah kemudian diikuti kelahiran
generasi-generasi yang melek akan media, generasi yang tanggap terhadap
teknologi, dan perubahan yang bersifat dinamis. Banyak media masa/ media sosial
membentuk generasi dengan julukkan baru, yakni generasi milenial. Ciri-cirinya
ketika mengamati adalah paham terhadap gadget, selalu ter-update terhadap
berbagai informasi, problem sosial-politik, hingga trend yang ada di
masyarakat. Generasi ini, lahir di era dunia yang serba instan, segalanya
dituntut untuk cepat nan praktis, sehingga apapun yang dibutuhkan haruslah
cepat terpenuhi. Terbukti dengan kemunculan platfrom media sosial, maupun forum
jual beli online (fjb) yang memberikan aksesibilitas data yang mudah dalam
penggunaannya.
Kehadiran generasi milenial bukan
tanpa problem yang mengikuti ketika generasi ini berkembang. Ketika informasi
yang sifatnya baru muncul, dianggap oleh generasi ini sebagai hal yang menarik,
populer, dan memiliki kecenderungan disukai, itu akan berdampak pada berbagai
situasi lanjutan dan tindakan lanjutan. Situasi-situasi dimana mereka akan
menerima hal tersebut, menirunya, meyakini sebagai cara pandang, sebagai
motivasi diri, hingga sesuatu yang dapat dimodifikasi, dapat dikatakan menciptakan
karya-karya baru. Generasi ini juga menjadi generasi yang sangat kreatif dan
memiliki pola pikir yang terbuka. Media massa sosial menjadi platform mereka
untuk berkereasi menunjukkan eksistensi masing-masing dari diri mereka.
Jangan kaget zaman digital ini,
banyak karya-karya dari generasi milenial muncul mewarnai seni dan kebudayaan
Indonesia. Kemunculan dengan berbagai konten kreatif, menunjukkan hegemoni dan
dominasi generasi ini di eranya. Seperti pepatah atau selogan yang mengatakan
bahwa “Sebuah kreativitas lahir tanpa batas”. Kemunculan kreasi-kreasi ini
berasal dari berbagai segi dan platfrom, tidak jarang juga mampu menarik
perhatian masyarakat global. Kemunculannya menjadi api pemantik bagi kemunculan
karya-karya lainnya. Seperti tongkat estafet yang selalu berpindah-pindah dari
para pelari, generasi milenial adalah pelari yang tidak pernah kehabisan energi
(karya).
Konten dan kreativitas merupakan
dua makna yang berbeda yang digabungkan menjadi satu. Istilah konten kreatif
merujuk pada karya-karya anak muda, yang mampu menghasilkan kreativitas out of
the box (tidak biasa). Sebagai contoh tren sekarang yang digemari, adalah
hiburan digital berupa video blog (vlog di youtube), banyak karya yang muncul
dengan konten secara digital audio visual menampilkan pertunjukkan, konten
video bercerita dengan berbagai tema anak muda. Ini tidaklah menjadi acara
pertunjukkan semata, namun menjadi karya yang telah teroganisir, dan
ter-eksplorasi, yang bisa menghasilkan ladang uang yang menguntungkan, dan
itulah keunikannya.
Mencermati sejarah di masa lalu,
Indonesia juga memiliki hiburan yang cukup apik di era kerajaan Demak (Raden
Patah). Munculnya sebuah pertunjukkan wayang yang tidak kalah dengan
pertunjukan digital di masa generasi milenial ini. Kemunculan Wayang Kulit
Purwa menjadi tahapan awal sebuah seni pertunjukkan wayang Indonesia, dimana
peran Raja Demak, dan Wali Sanga menjembatani kemunculan pagelaran pertunjukkan
wayang berwujud seni dan dakwah ini.
Di masa kemuculan wayang ini
kreativitas yang dimotori pedalang, pesiden (penyanyi), niaga (penabuh gamelan)
memberikan efek seni hiburan, dan pendidikan yang berpengaruh pada sistem
kepercayaan, tindakan berlandas nilai dan norma yang berbudi luhur. Ide yang
muncul dalam merupakan kreativitas pada
kala itu yang juga luar biasa, karena dalam satu pertunjukkan saja bisa
menampilkan berbagai seni maupun atraksi. Seni pertunjukan ini tidak hanya
menampilkan wayang sebagai seni lukis, seni tatah, seni mengambar saja, tetapi
ada seni suara, seni musik, hingga seni bercerita dan berdakwah dari top
leadernya si pedalang.
Pada masa kemunculan wayang,
tidak ada istilah event organizer
seperti sekarang ini, yang berorientasi pada pertunjukan bayaran.
Pertunjukkan wayang dilaksanakan memiliki orientasi sebagai media penyebaran
agama, dan pembangunan moral yang berbudi. Bahkan pementasan wayang ditujukan
karena ada tasyakuran/hajatan, yang terlaksana dengan sinergi yang kuat antara
pemerintah (Raja Demak), Seniman (Para Wali), hingga masyarakat (rakyat).
Bersama bergotong royong, menampilkan konsep hiburan yang dibudidayakan melalui
pengenalan tokoh, penyampaian cerita, diperkaya dengan tradisi masyarakat yang
beragam. Dari sinilah mental dan watak masyarakat Indonesia terbentuk. Selain
itu peran sentral dalang dalam pementasan wayang mampu menampilkan pertunjukkan
komunikatif-informatif. Ini karena tema-tema kehidupan yang diangkat sangatlah
dekat dengan kehidupan sosial masyarakat. Hal ini menegaskan juga bahwa wayang
merupakan sebuah alat pendekatan masyarakat secara sosio-cultural.
Memperbandingkan konten kreatif
wayang dengan konten kreatif budaya digital zaman sekarang sanggat jauh
berbeda. Dimana dalam konten story telling wayang memberikan penegasan pada
penyampaian dan penanaman budi pekerti, menuai dampak membentuk budaya dan
karakter bangsa Indonesia, dengan salah satu contoh falsafah hidup seperti Ing
ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani (di depan
memberi contoh, di tengah memberi semangat, di belakang memberikan daya
kekuatan).
Sedangkan konten-konten kreatif
zaman sekarang cenderung berkiblat pada budaya luar. Semisal budaya
dance-fashion ala K-POP (Korea), cosplayer ottaku anime (Jepang), hingga film
Box Office Hollywood (Barat). Memang tidak seperti wayang, budaya luar ini
memiliki kecenderungan pada profit, dan penghasilan yang bersifat kapitalis.
Itu memang bagus, patut diapresiasi, namun muncul kemudian pertanyaan seperti;
Apakah budaya itu penting ? Dan bagaimana karakter sebuah bangsa dibangun oleh
bangsanya sendiri? Lalu bagaimana nasib Wayang?
Generasi sekarang sebagai
milenial tentunya tidak kekurangan bahan, apabila mau mengkaji, mengenal,
bagaimana konsep wayang sebagai budaya sendiri. Hal inilah yang sebenarnya
perlu dilakukan. Mencintai dan memberdayakan budaya sendiri. Ironis apabila
konten kreatif yang disajikan, hanya berkiblat pada budaya milik bangsa lain.
Konten-konten masa kini dibuat sekilas hanya bertujuan hanya berlandaskan
keuntungan pribadi saja, mengenyampingkan unsur berkarakter Indonesia. Mau jadi
apa ketika kelak budaya hanya menjadi timbunan materi. Uang bisa habis dan
dicari, namun ilmu tidak bisa habis dapat dibagi dari generasi ke generasi inilah
nilai budaya itu sendiri.
Informasi dan perubahan yang
terjadi di dunia memang tidak bisa dihindari atau ditolak. Apalagi percampuran
budaya semisal asimilasi, alkulturasi atau dalam bentuk yang lainnya. Tetapi
sebagai bagian dari sebuah generasi, lucu saja apabila berpangku tangan, dan
tidak peduli dengan budaya sendiri. Bukankah generasi milenial mempunyai sikap
terbuka, mampu membawa perubahan, menjadi pelopor. Sehingga selalu ada
solusi-solusi yang ditawarkan.
Harus ada tindakan nyata,
misalnya memanfaatkan segala sumber daya secara kolektif maupun bernilai
positif, demi merawat kebudayaan Indonesia. Tambahan era digitalisasi tidak
akan menyempitkan pandangan. Justru inilah kesempatan emas memunculkan ide,
gagasan baru dengan menampilkan wajah wayang Indonesia di pentas dunia. Celah
selalu ada, untuk menuangkan ide-ide brilian. Manusia sebagai mahluk berbudaya
pastinya bersifat dinamis, berubah namun jangan sampai hilang atau meninggalkan
karakter keIndonesiaannya. Dengan era digital, selalu ada peralihan yang
terjadi, wayang bisa dikonversi. Semisal menghadirkan wayang dengan ciri
digital, entah itu pertunjukkannya, pembuatannya, atau wayang jenis baru.
Konversi wayang dengan medium berbeda, yakni wayang bergaya milenial misalnya.
Apabila digambarkan pada tokoh
dunia pewayangan generasi ini harus mantap dan kuat seperti Karakter Bima,
cerdas dan cerdik seperti Krisna, jangan hanya mbebeki (mengekor budaya luar).
Semua berada pada pilihan ditangan masing-masing. Menjadi generasi emas
tidaklah sulit, hanya perlu mencatatkan sejarah sebagai generasi yang
mengharumkan nama Indonesia. Dari ketokohan wayang kita bisa belajar bagaimana
sebuah watak ideal seorang kesatria. Kemudian dari segi alur cerita seperti
Ramayana, kita bisa belajar bahwa kita harus berjuang untuk apa yang kita
cintai, berjuang dan tidak menyerah untuk mencapai sesuatu.
Bangsa Indonesia terlahir
berdasarkan rasa integritas dan persatuan-kesatuan yang tinggi. Membangun
sebuah generasi artinya membangun juga pendidikannya. Pendidikan yang bagaimana
? tentunya adalah pendidikan yang mampu meningkatkan kebudayaan itu sendiri,
dengan adanya pendidikan budaya bisa ditransfer dari generasi ke generasi.
Manusia sebagai mahluk berakal tentunya juga harus berevolusi untuk
meningkatkan kualitas hidup, melakukan perubahan bernilai guna. Nilai-nilai
yang sama seperti tujuan pendidikan nasional yang juga berasaskan pada
Pancasila. Pendidikan yang memiliki tingkatan, dan bernilai kemanusiaan.
Perlu dipahami juga, bahwa budaya
merupakan sumber nilai pendidikan karakter bangsa. Sebuah bangsa dikenali
berdasarkan karakternya. Indonesia memiliki wayang, adanya wayang bisa
menumbuhkan sikap empati, dan kepemilikan, bisa juga kemudian berkembang
menjadi support system yang baik dalam menyelenggarakan pendidikan maupun
kebudayaan. Jangan sampai kalah dengan budaya-budaya yang menjadi trend belakangan
ini. Kita perlu menunjukkan dan membuktikan, bahwa Indonesia memiliki wayang
sebagai ciri khas dan harta karun yang mampu menguncangkan dunia. Wayang milik
kita generasi milenial, dan kita adalah Indonesia. Wayang merupakan budaya
nasional, bukan budaya Impor. Pengindonesiaan dengan pementasan dan memperluas
jangkauan budaya wayang penting dilaksanakan. Alasannya, karena kehadiran
wayang merepresentasikan pendidikan, psikologi, filsafat, dan watak hidup
bangsa Indonesia.
*Apabila mengutip tulisan ini, mohon sertakan sumber yang lengkap dari penulis, dan gunakan pengutipan yang baik dan benar, terima kasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar