Hidup Kembali
Oleh Aji Muhammad Said
dok. foto pribadi
Setelah hidup terus mati, setelah mati terus hidup,
kehidupan manusia prosesnya seperti ini. Memahami kematian dengan mata mautun, yang
berarti mati itu adalah momentum. Karena pada dasarnya Kholidina fiha abada,
kita hidup abadi tapi kita harus siap perubahannnya, transformasinya. Melalui
kematian kita bisa hidup kembali, menjalani proses yang memang benar-benar
Allah gariskan kepada kita.
Persiapan dalam kematian tentunya tidak luput dari
pengolahan kehidupan. Sebagaimana manusia harus senantias tafakur, tadabur, dan
dzikir. Dimana tafakur itu merupakan, olah pikir ke dalam atas ketauhidan,
tadabur adalah pengejawantahan Al-quran dalam hidup, dan dzikir adalah olah
pikir ke luar dalam diri manusia. Karena pada dasarnya, hidup itu keluar masuk,
keluar masuk. Hal ini dimaksudkan agar terjadi keseimbangan. Manusia harus
seimbang dalam kehidupannya kalau tidak hidupnya bisa kacau, hidup dengan keragu-raguan,
ketidak jelasan.
Dalam hidup ini, manusia menemui berbagai proses, yang tidak
luput dari sesuatu yang buruk. Beberapa hal yang sering kita sebut negatif,
sebagai contoh : gagal, kemudorotan, keapesan, kerugian. Itu menjadi sumber
energi, apabila kita syukuri momentumnya, ada istilah ‘alhamdulillahi’, yang
berarti itu merupakan wujud penerimaan atas apa yang Allah kehendaki. Itu akan
menjadi sumber cahaya bagi kehidupan kita. Sebagai momentum bagaimana kita
bermesraan kepada Allah. Momen kita mengenal tajali Allah.Karena sesungguhnya
kehidupan ini merupakan proses yang tak berkesudahan, pencarian terus-menerus,
sampai kembali kepada Allah (Magrifatullah).
Awali semuanya dengan sudut pandang milik Allah, posisi anda
disebuah tempat pun karena Allah. Kata kematian jangan jadikan sebagai kata
untuk memutus segalanya. Jangan jadikan sebagai kata informasi yang kaku. Kematian
harus kita terima dengan sudut pandang informatif. Sehingga ketika kita menerima
informasi, tidak terpaku pada teknisnya saja, kata bakunya saja. Hal ini dikarenakan
setiap kata memiliki rasa, dan makna, bergantung keadaan, yakni situasi dan
momentumnya. Jangan dilihat literal, jangan dianggap secara teknis tapi harus
logis. Semuanya berkaitan, jadi jangan ambil satu sisi saja dalam sebuah ilmu,
tapi ambilah ilmu dari lingkar pandang, bukan sudut pandang. Hal ini sama
konsepnya ketika tawaf, kita tidak berdiri pada satu posisi saja, melainkan
mengelilinginya memutarinya. Hal ini untuk memperoleh sudut yang tak terhingga,
sisi yang tak terhingga. Itulah hakekat kehidupan.
Perumpamaan selanjutnya adalah kakbah, setelah kakbah anda kelilingi
itu menjadi puncak energi yang akan kita dapatkan, puncak kehidupan yang kita
dapatkan. Kakbah secara administrasi Tuhan letaknya adalah di Makkah dan Madinah,
namun secara spiritual, kabah letaknya berada di dalam hati dan kesadaran diri. Kakbah yang sejati adalah kabah yang kau
dirikan didalam hidup kita, karena sejatinya Allah berada di dalam dirimu, dalam
cintamu, ada dalam jiwamu.
Jangan melihat sesuatu itu dengan mata sendiri melihatlah
sesuatu karena Allah, dengan mata Allah. Manusia akan hidup rukun karena
memiliki tujuan yang sama untuk Allah. Manusia itu hanya sebatas tahu saja
tentang kebenaran, yang tahu kebenaran pastinya hanyalah Allah. Kebenaran ada
tempatnya dan kejujuran ada tempatnya, semua itu ada hitungannya.Yakinlah pada
keyakinanmu, tanpa menyalahkan orang lain. Aurotkanlah sesuatu yang harus kamu
aurotkan, benar belum tentu bagus, dan bagus belum tentu benar. Hidup itu ada
yang cair ada juga yang padat. Posisi manusia hanya pada ia merasakan semuanya.
Setelah ia merasa ia akan tahu ilmu apa yang akan ia dapat. Ilmu itu adalah
jawaban dari apa yang kita percaya, dan yakini. Kunci itu semua adalah
bagaimana kita meletekkan kebenaran, sama seperti kejujuran. Kunci kesehatan
adalah pada kejujuran, dan ketulusan hati.
Namnu zaman ini mulai muncul sebuah kehidupan hologram. Kehidupan
yang tidan mencerminkan kehidupan aslinya. Kehidupan yang dipenuhi
kepura-puraan. Kehidupan yang dibangun dengan tema kesenangan duniawi. Tataran yang
menjebak manusia. Zaman ini, mulai dibuat bentuk-bentuk kepalsuan. Nomor satunya
adalah pencitraan. Seperti halnya, contoh bahwa, di dunia ini yang terpenting
bukan ayam, tapi rasa ayam. Kita direkayasa untuk ditutupi disembunyikan. Kepalsuan
itulah, yang menjadi makna aslinya, misal apabila ada satu, kemudian
penyebutannya dijadikan dua.
Manusia dalam mencari kebenaran dibekali ilmu-ilmu, pada
proses pengalaman qolbu dan sepiritualnya, diantarkan pada istilah taqwa dan
bekal keyakinan. Dalam filosofi hidup orang jawa, ada ilmu yang dapat membaca
hal-hal demikian. Ilmu katuranggan menjadi, ilmu dalam melihat sebuah keadaan. Di
mana pada intinya manusia diajarkan untuk jangan tertipu oleh barang yang
terlihat. Jangan dibohongi oleh hal yang tampak. Lihatlah sorot matanya,
lihatlah urat-urat wajahnya. Wajah yang mencerminkan momentum, wajah yang
mencerminkan keadaan, bagaimana karakter suasana, hingga mimik ekspresi yang
ditampilkan. Setiap keadaan memiliki
makna, dan setiap kata memiliki rasa.
Sebagai contoh adalah orang yang takut tapi berkata-kata
bahwa dirinya tidak takut. Orang yang demikian sebenarnya adalah orang yang
membesar-mbesarkan dirinya supaya, ia tidak takut. Ia membesar-besarkan
hatinya. Padahal di dalam dirinya terdapat ketakutan. Hal ini sama seperti
menipu daya diri. Orang yang berani bukan berarti ia tidak takut, tapi ia tidak
sadar ia berani. Apabila kita paham,
ketakutan itu wajar, apabila ketakutan tersebut ditujukkan pada tempatnya. Setiap
manusia pun akan diuji dengan dua hal, pertama yakni kerinduan yang dahsyat
atas harapan nikmat yang diberikan. Kedua yakni, dengan ancaman yang keras
melalui siksa yang mengerikan. Hidup-hiduplah setelah mati, “Cukuplah Allah (menjadi penolong) bagi kami
dan Dia sebaik-baik pelindung.” ―QS. 3:173.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar