Kamis, 03 Oktober 2019

Opini_Hidup Kembali


Hidup Kembali

Oleh Aji Muhammad Said

dok. foto pribadi

Setelah hidup terus mati, setelah mati terus hidup, kehidupan manusia prosesnya seperti ini. Memahami kematian dengan mata mautun, yang berarti mati itu adalah momentum. Karena pada dasarnya Kholidina fiha abada, kita hidup abadi tapi kita harus siap perubahannnya, transformasinya. Melalui kematian kita bisa hidup kembali, menjalani proses yang memang benar-benar Allah gariskan kepada kita.

Persiapan dalam kematian tentunya tidak luput dari pengolahan kehidupan. Sebagaimana manusia harus senantias tafakur, tadabur, dan dzikir. Dimana tafakur itu merupakan, olah pikir ke dalam atas ketauhidan, tadabur adalah pengejawantahan Al-quran dalam hidup, dan dzikir adalah olah pikir ke luar dalam diri manusia. Karena pada dasarnya, hidup itu keluar masuk, keluar masuk. Hal ini dimaksudkan agar terjadi keseimbangan. Manusia harus seimbang dalam kehidupannya kalau tidak hidupnya bisa kacau, hidup dengan keragu-raguan, ketidak jelasan.

Dalam hidup ini, manusia menemui berbagai proses, yang tidak luput dari sesuatu yang buruk. Beberapa hal yang sering kita sebut negatif, sebagai contoh : gagal, kemudorotan, keapesan, kerugian. Itu menjadi sumber energi, apabila kita syukuri momentumnya, ada istilah ‘alhamdulillahi’, yang berarti itu merupakan wujud penerimaan atas apa yang Allah kehendaki. Itu akan menjadi sumber cahaya bagi kehidupan kita. Sebagai momentum bagaimana kita bermesraan kepada Allah. Momen kita mengenal tajali Allah.Karena sesungguhnya kehidupan ini merupakan proses yang tak berkesudahan, pencarian terus-menerus, sampai kembali kepada Allah (Magrifatullah).

Awali semuanya dengan sudut pandang milik Allah, posisi anda disebuah tempat pun karena Allah. Kata kematian jangan jadikan sebagai kata untuk memutus segalanya. Jangan jadikan sebagai kata informasi yang kaku. Kematian harus kita terima dengan sudut pandang informatif. Sehingga ketika kita menerima informasi, tidak terpaku pada teknisnya saja, kata bakunya saja. Hal ini dikarenakan setiap kata memiliki rasa, dan makna, bergantung keadaan, yakni situasi dan momentumnya. Jangan dilihat literal, jangan dianggap secara teknis tapi harus logis. Semuanya berkaitan, jadi jangan ambil satu sisi saja dalam sebuah ilmu, tapi ambilah ilmu dari lingkar pandang, bukan sudut pandang. Hal ini sama konsepnya ketika tawaf, kita tidak berdiri pada satu posisi saja, melainkan mengelilinginya memutarinya. Hal ini untuk memperoleh sudut yang tak terhingga, sisi yang tak terhingga. Itulah hakekat kehidupan.

Perumpamaan selanjutnya adalah kakbah, setelah kakbah anda kelilingi itu menjadi puncak energi yang akan kita dapatkan, puncak kehidupan yang kita dapatkan. Kakbah secara administrasi Tuhan letaknya adalah di Makkah dan Madinah, namun secara spiritual, kabah letaknya berada di dalam hati dan kesadaran diri.  Kakbah yang sejati adalah kabah yang kau dirikan didalam hidup kita, karena sejatinya Allah berada di dalam dirimu, dalam cintamu, ada dalam jiwamu.

Jangan melihat sesuatu itu dengan mata sendiri melihatlah sesuatu karena Allah, dengan mata Allah. Manusia akan hidup rukun karena memiliki tujuan yang sama untuk Allah. Manusia itu hanya sebatas tahu saja tentang kebenaran, yang tahu kebenaran pastinya hanyalah Allah. Kebenaran ada tempatnya dan kejujuran ada tempatnya, semua itu ada hitungannya.Yakinlah pada keyakinanmu, tanpa menyalahkan orang lain. Aurotkanlah sesuatu yang harus kamu aurotkan, benar belum tentu bagus, dan bagus belum tentu benar. Hidup itu ada yang cair ada juga yang padat. Posisi manusia hanya pada ia merasakan semuanya. Setelah ia merasa ia akan tahu ilmu apa yang akan ia dapat. Ilmu itu adalah jawaban dari apa yang kita percaya, dan yakini. Kunci itu semua adalah bagaimana kita meletekkan kebenaran, sama seperti kejujuran. Kunci kesehatan adalah pada kejujuran, dan ketulusan hati.

Namnu zaman ini mulai muncul sebuah kehidupan hologram. Kehidupan yang tidan mencerminkan kehidupan aslinya. Kehidupan yang dipenuhi kepura-puraan. Kehidupan yang dibangun dengan tema kesenangan duniawi. Tataran yang menjebak manusia. Zaman ini, mulai dibuat bentuk-bentuk kepalsuan. Nomor satunya adalah pencitraan. Seperti halnya, contoh bahwa, di dunia ini yang terpenting bukan ayam, tapi rasa ayam. Kita direkayasa untuk ditutupi disembunyikan. Kepalsuan itulah, yang menjadi makna aslinya, misal apabila ada satu, kemudian penyebutannya dijadikan dua.

Manusia dalam mencari kebenaran dibekali ilmu-ilmu, pada proses pengalaman qolbu dan sepiritualnya, diantarkan pada istilah taqwa dan bekal keyakinan. Dalam filosofi hidup orang jawa, ada ilmu yang dapat membaca hal-hal demikian. Ilmu katuranggan menjadi, ilmu dalam melihat sebuah keadaan. Di mana pada intinya manusia diajarkan untuk jangan tertipu oleh barang yang terlihat. Jangan dibohongi oleh hal yang tampak. Lihatlah sorot matanya, lihatlah urat-urat wajahnya. Wajah yang mencerminkan momentum, wajah yang mencerminkan keadaan, bagaimana karakter suasana, hingga mimik ekspresi yang ditampilkan.  Setiap keadaan memiliki makna, dan setiap kata memiliki rasa.

Sebagai contoh adalah orang yang takut tapi berkata-kata bahwa dirinya tidak takut. Orang yang demikian sebenarnya adalah orang yang membesar-mbesarkan dirinya supaya, ia tidak takut. Ia membesar-besarkan hatinya. Padahal di dalam dirinya terdapat ketakutan. Hal ini sama seperti menipu daya diri. Orang yang berani bukan berarti ia tidak takut, tapi ia tidak sadar ia berani.  Apabila kita paham, ketakutan itu wajar, apabila ketakutan tersebut ditujukkan pada tempatnya. Setiap manusia pun akan diuji dengan dua hal, pertama yakni kerinduan yang dahsyat atas harapan nikmat yang diberikan. Kedua yakni, dengan ancaman yang keras melalui siksa yang mengerikan. Hidup-hiduplah setelah mati, “Cukuplah Allah (menjadi penolong) bagi kami dan Dia sebaik-baik pelindung.” ―QS. 3:173.


 *Apabila mengutip tulisan ini, mohon sertakan sumber yang lengkap dari penulis, dan gunakan pengutipan yang baik dan benar, terima kasih.





Tidak ada komentar: