Rabu, 22 Juli 2015

Review - Sekuel Film 'Star Wars'



Ketika Cahaya Melawan Kegelapan Dalam Seri Film STAR WARS I- VI
Oleh ; Aji Muhammad Said
Sumber Ilustrasi Gambar: https://dejulogy.files.wordpress.com/2012/03/star-wars-complete-saga.jpg


            Perang Bintang (Star Wars), sebuah karya seni film garapan sutradara asal Amerika Serikat yaitu George Lucas. Star Wars adalah film yang berlatar belakang fiksi ilmiah, dimana tema pada film ini mengangkat kehidupan luar angkasa. Di dalamnya banyak berkaitan dengan kehidupan seputar galaksi yang divisualisasikan berdasarkan imajinasi pembuat film tersebut. Kehidupan di dalamnya mencakup kehidupan banyak mahluk, selain manusia juga divisualisasikan bagaimana sosok alien, jenis robot, dan lain sebagainya.
            Kisah dari film ini mengambarkan perjalanan luar angkasa dengan mendatangi berbagai planet yang berbeda ciri khasnya. Ada planet yang divisualisasikan bercuaca panas dengan kondisi geografis gurun, ada planet yang bercuca berkabut, dengan kondisi geografis tropis, dan begitu juga sebaliknya. Kisah film ini bermula dari kehadiran Anakin Skywalker yang diramalkan dalam film sebagai seseorang yang membawa takdir untuk keseimbangan galaksi, pada film Star Wars Episode I: The Phantom Menace (1999) . Di dalamnya juga menceritakan mengenai ‘The Force’, yaitu suatu energi dalam galaksi. Energi ini mampu memberikan kekuatan bagi penggunanya. Kekuatan tersebut seperti gerak reflek, kekuatan fisik, dan ketangkasan. Kekuatan tersebut dapat ditingkatkan oleh penggunanya yaitu melalui latihan. Pengguna ‘The Force’ akan memiliki kekuatan hebat, akan tetapi jika penggunanya tidak bisa mengontrolnya, dan menggunakan untuk kejahatan maka penggunanya akan masuk pada sisi gelap. Dalam film ini dikisahkan bahwa yang menggunakan ‘The Force’ untuk kebenaran adalah Jedi, dan penggunaan ‘The Force’ untuk kejahatan dengan menguasai galaksi menggunakan tindak kejahatan adalah Sith, seperti cahaya melawan kegelapan. Cerita berlanjut pada kisah percintaan Anakin Skywalker dengan Padme Amidala yang digambarkan pada seri kedua film ini yang berjudul Star Wars Episode II: Attack of the Clones (2002). Kisah percintaan diantara keduanya kemudian berahkir tragis, hal ini dikarenakan Anakin Skywalker menggunakan ‘The Force’ secara salah. Pada Episode inilah muncul Dark Vader yang semula Anakin Skywalker. Dark Vader bergabung dengan Dark Side (Penguasa kegelapan) pada Film Star Wars ini (Star Wars Episode III: Revenge of the Sith (2005)). Setelah Anakin Skywalker berubah menjadi Dark Vader, pertempuran kemudian berlangsung menjadi seru pada 2 episode selanjutnya yaitu Star Wars Episode IV: A New Hope (1977) dan Star Wars Episode V: The Empire Strikes Back (1980). Alsannya adalah muncul tokoh baik untuk menyeimbangkan galaxi dan melawan kejahatan. Tokoh-tokoh baru tersebut seperti Han Solo yang diperankan Harrison Ford, Luke Skywalker yang diperankan Mark Hamill dan Leia Organa yang diperankan Carrie Fisher. Pada ahkir kisah Perang bintang ini kemudian terjadi pertarungan antara Dark Vader dengan Luke Skywalker (Star Wars Episode VI: Return of the Jedi (1983)).
            Keunikan dalam film ini yaitu produksi filmnya tidak urut seperti judul filmnya. Menurut Sutradaranya yaitu George Lucas produksi film untuk seri I, II, III tidak dilakukan terlebih dahulu, alasannya adalah belum tersedianya alat maupun teknologi yang mendukung dalam produksi film seri I sampai III. Maka dari itu diproduksi terlebih dahululah film seri ke IV sampai dengan VI yang diriilis tahun 1970-1980. Sedangkan seri I sampai III baru diriilis sekitar tahun 2000-an.
            Dari segi penyampaian ide cerita sampai sinematografi pada film ini cukup baik. Seri film ini dihadirkan dengan peningkatan yang berkembang. Mulai dari segi busana, arsitektur bangunan, sampai pada teknologi yang digambarkan pada film. Dsisi lain film ini juga mengajarkan tentang kebaikan yaitu dengan selalu sabar untuk berlatih dan percaya dengan satu sama lainnya. Penerapan kerjasama dalam kelompok juga ditekankan dalam film ini. Pelajaran yang berharga dalam film ini dapat kita resapi dalam kehidupan sehari-hari yaitu dengan selalu menggunakan cara yang baik untuk mendapatkan sesuatu.
            Disis lain, ada beberapa hal yang disayang dalam keenam film ini. Mulai dari episodenya yang diproduksi secara tidak urut, sehingga membingungkan penonton yang menonton tidak dari awal seri film. Selain itu juga terdapat perbedaan kualitas visualisasi film, namun sudah cukup baik dengan berkembangnya kualitas film pada setiap episodenya. Karakter yang berganti peran, dirasa mengejutkan penonton yang menyaksikan film pada episode ke III (Star Wars Episode III: Revenge of the Sith (2005)) karakter Anakin Skywalker yang semula tokoh protagonis berubah watak menjadi tokoh antagonis. Pemahaman dan pemaknaan mengenai film setiap orang berbeda-beda, alangkah lebih baiknya menikmati film dengan pemahaman dan pemaknaan sendiri. “Selamat menonton STAR WARS !”.

*Apabila mengutip tulisan ini, mohon sertakan sumber yang lengkap dari penulis, dan gunakan pengutipan yang baik dan benar, terima kasih.

Foto Dokumenter - Wayang Kulit


Foto Dokumenter - Bukit Sikunir



Foto Dokumenter - Gunung Sindoro dan Sumbing












Review - Teori Habitus dan Distingsi






Teori Habitus dan Distingsi
Oleh: Aji Muhammad Said



A.    HABITUS
            Habitus adalah struktur kognitif yang memperantarai individu dan realitas social. Habitus juga merupakan struktur subjektif yang terbentuk dari pengalaman individu berhubungan dengan individu lain dalam jaringan struktur objektif yang ada di dalam ruang social. Habitus di indikasikan sebagai skema-skema yang merupakan perwakilan konseptual dari benda-benda dalam realitas social. Dalam perjalanan hidupnya manusia memiliki skema yang terinternalisasi dan melalui skema-skema itu mereka mempersepsi, memahami menghargai serta mengevaluasi realitas social. Berbagai skema tercakup didalam habitus seperti konsep ruang, waktu, baik-buruk, sakit-sehat, untung-rugi, berguna-tidak berguna, benar-salah, atas-bawah, depan-belakang, kiri-kanan, indah-jelek, terhormat-terhina. Skema tersebut diwujudkan didalam istilah sebagai hasil penamaan. Skema tersebut membentuk struktur kognitif yang memberi kerangka acuan sebuah tindakan kepada individu di dalam setiap keseharian mereka.
            Skema tersebut diatas dapat dicontohkan dengan skema “sakit” yang merujuk pada suatu kondisi fisik yang tidak menyenangkan yang dialami oleh manusia. Karena sakit tidak menyenangkan maka tindakan manusia harus diarahkan untuk menghindarinya, termasuk menghindari orang-orang yang mungkin menyebabkan munculnya kondisi sakit. Contoh yang lain misalnya skema “pendidikan” merujuk pada cara terbaik untuk meningkatkan kualitas hidup menjadi lebih baik di dalam masyarakat. Oleh karena itu kualitas hidup yang menyenangkan dan menguntungkan, maka pendidikan itu baik, sehingga tindakan-tindakan yang mengarahkan individu pada perolehan pendidikan itu perlu dilakukan.
Habitus juga dapat dikatakan sebagai ketidaksadaran cultural yakni pengaruh sejarah yang tidak disadari dianggap alamiah. Oleh karena itu habitus bukanlah pengetahuan ataupun ide bawaan. (diakses, 2 januari 2015, http://sosiologifisib.wordpress.com/2011/01/19/sponsor-join-gratis-mudah-menjalankan/)
            Atas dasar penolakan terhadap definisi yang mempertentangkan antara objektivisme dengan subjektivisme, atau antara individu dengan masyarakat.Asumsi yang ditentang oleh Bourdieu tersebut adalah asumsi Dukheim, strukturalisme Saussure, Levi Strauss, dan structural Marxis, yang dianggap sebagai teoritisi objektivisme,karena mengesampingkan keberadaan agen.
            Bourdieu lebih dapat menyesuaikan pemahamannya dengan asumsi sktrukturalis yang tanpa mengesampingkan keberadaan agen, seperti teoritisi dari Sartre, Schutz, Blumer, dan Garfinkel yang merupakan penganut subjektivisme.
            Bourdieu memusatkan perhatiannya pada tindakan praktik dalam menghilangkan dilema antara objektivisme dan subjektivisme.Praktik merupakan hasil hubungan dialektika antara strukturalis dan keagenan, praktik tidak dapat ditentukan secara objektif saja, namun juga tidak dapat dianggap sebagai hasil dari kemauan bebas individu.Orientasi teoritisi dari Bourdieu ini disebut dengan strukturalisme genetis atau strukturalis konstrukalisme, dan juga strukturalis. Walaupun ia dapat membatasi antara strukturalis dan konstrukvisme, namun karyanya lebih cenderung pada arah strukturalisme, yakni dengan banyaknya kesamaan denganstrukturalisme daripada konstrukvisme.
            Menurut teoritisinya cara aktor merasa berdasar pada posisinya dalam membangun kehidupan social adalah penting, namun persepsi dan konstruksi yang ada di dalamnya digerakkan dan diatur oleh struktur. Hal ini Nampak pada perspektif teoritisinya bahwa analisis struktur objektif tidak dapat dipisahkan dari analisa asal usul struktur mental aktor individual yang pada taraf tertentu adalah produk dari gabungan struktur sosial itu sendiri (George Ritzer dan Goodman. 2003: 520-521).
            Sehingga dapat disimpulkan mengenai inti dari teori habitus dan lingkungan adalah usaha dari Bourdieu dalam menjembatani subjektivisme dan objektivisme, dan juga mengulas mengenai hubungan dialektika keduanya, dimana posisi habitus yang berada dalam pikiran aktor sementara lingkunganlah yang berada di luar pikiran aktor.
            Habitus diperoleh sebagai akibat dari ditempatinya posisi sosial dalam waktu yang notabene lama, mengakibatkan adanya variasi di dalam sifat posisi seseorang dalam dunia sosialnya. Sehingga habitus antara satu orang dengan yang lainnya tidak mungkin sama. Habitus yang termanifestasikan pada individu diperoleh dari proses sejarah individu dan merupakan fungsi dari titik tertentu dalam sejarah sosial dimana ia berada. Habitus dapat bertahan lama dan dapat pula berubah sesuai dengan arena di mana individu berada. Seringkali, seseorang memiliki habitus yang tidak sesuai, sehingga terjadi kesalahan dalam pergerakannya yang hingga mengarah pada ‘penderitaan’ atau yang disebut dengan hysteria, sebagai contoh ialah seseorang yang berhabitus dalam bidang agraria karena pergerakan industrialisasi yang ada dia harus bekerja pada bidang industrialisasi yang tidak sesuai dengan habitus awalnya sebagai seorang petani.
            Inti terpenting dari habitus Bourdieu yang menjadikannya beda dengan pemikiran strukturalis ialah habitus ini merupakan satu struktur terinternalisasi yang walaupun menghambat pikiran dan pilihan bertindak, habitus secara pasti tidak selalu menentukan tindakan dari individu. Habitus hanyalah sekedar memberi saran mengenai apa yang harus dipikirkan orang dan apa yang seharusnya mereka pilih untuk dilakukan. Habitus memberikan prinsip yang digunakan orang untuk memilih strategi yang akan mereka gunakan ketika berada dalam dunia sosial.
            Walaupun Bourdieu dapat berhasil membatasi stukturalisme dan kontruktivisme, namun karyanya menunjukan kecenderungan pada arah strukturalisme, yakni dengan banyaknya kesamaan dengan strukturalisme daripada kontruktivisme.. Berbeda dengan kebanyakan teoritisi lain , menurutnya cara actor merasa berdasarkan posisinya dalam membangun kehidupan sosial adalah penting, namun persepsi dan konstruksi yang ada didalamnya itu digerakkan dan dikendalikan oleh stuktur  Hal itu tercermin dalam definisinya mengenai persepktif teoritisnya  bahwa analisis struktur objektif  tidak dapat dipisahkan dari analisa asal usul struktur mental actor individual yang hingga pada taraf tertentu adalah produk dari gabungan gstruktur sosial itu sendiri. [3]
            Jadi konsep inti dari teori habitus dan lingkungan adalah usaha Bourdieu dalam menjembatani subjektivisme dan objektivisme (Aldridge, 1998) dan mengulas hubungan dialektika  keduanya (Swartz, 1997), dimana posisi habitus yang berada di dalam pikiran actor  sementara lingkungan berada di luar pikiran aktor.

B.    DISTINGSI
            Dalam konsep distingsi ini Bourdieu menjelaskan secara singkat suatu tindakan seseorang yang membedakan dirinya untuk menunjukkan kelasnya dalam masyarakat. Misalnya saja gaya hidup yang dilakukan oleh golongan ekonomi kelas atas untuk membedakan dengan golongan kelas ekonomi yang lebih rendah. Lebih spesisfik lagi, Bordieu menegaskan konsep distingsi ini ke arah variasi “selera” estesis, diposisi yang diperoleh untuk membedakan beragam obyek cultural kenikmatan estesis dan memberi apresiasi secara berbeda. Selera juga merupakan praktik yang diantaranya berfungsi memberi individu maupun orang lain pemehaman akan tempatnya di dalam tatanan sosial. Selera menyatukan mereka yang memiliki preferensi serupa dan membedakannya dari mereka yang mempunyai preferensi berbeda, sehingga melalui proses tersebut dapat mengklasifikasikan dirinya sendiri. Kita mampu mengkategorikan orang menurut selera yang mereka perlihatkan, misalnya preferensi mereka pada jenis musik atau film berbeda.Praktik-praktik ini terkait dalam konteks hubungan timbal balik, yaitu dalam totalitas. Jadi selera-selera seni ataupun film terkait dengan preferensi makanan, olahraga, gaya rambut, dan lain-lain.
            Bourdieu menggabungkan antara habitus dan selera, selera dibentuk oleh disposisi yang mengakar kuat dan bertahan lama daripada opini permukaan dan verbalisasi.Bahkan preferensi seseorang atas aspek luar kebudayaan seperti pakaian, perabot, dan masakan dibangun oleh habitus.Disposisi inilah yang membentuk kesatuan tak sadar suatu kelas. Selanjutnya Bourdieu mengemukakan selera adalah pengatur pertandingan, yang di dalamnya habitus menegaskan kedekatannya dengan habitus lain. Secara dialektis, struktur kelas yang menciptakan habitus.
            Bourdieu melihat kebudayaan sebagai semacam ekonomi atau pasar.Di dalam pasar ini, orang memanfaatkan modal kultural daripada modal ekonomi.Modal kultural ini merupakan akibat dari asal usul sosial seseorang dan pengalaman pendidikan mereka. Di pasar inilah orang yang memiliki modal dan menggunakannya sehingga mampu meningkatkan posisi mereka atau justru mengalami kerugian  yang pada gilirannya menyebabkan merosotnya posisi mereka dalam ekonomi.
            Bourdieu mengemukakan bahwa kekuatan yang mendorong perilaku manusia adalah pencarian distingsi, yaitu untuk hadir dalam ruang sosial, menduduki suatu posisi tertentu dalam ruang sosial.Seseorang yang dibekali dengan kategori persepsi, skema klasifikasi, dan selera tertentu sehingga memungkinkan menciptakan perbedaan.Sebagai contoh misalnya seseorang yang suka bermain gitar memiliki nilai distingsi dibandingkan yang suka bermain seruling yang dianggap kampungan (dilihat dari sudut pandang penggemar gitar). Hal ini akibat dari dominannya sudut pandang dan kekerasan simbolis yang dipraktikkan untuk menentang mereka yang mengadopsi sudut pandang lain.
            Bourdieu juga membahas tentang bahasa, menurutnya bahasa bukanlah alat komunikasi yang bersifat netral tanpa kepentingan. Menurut Bourdieu, bahasa adalah symbol kekuasaan. Dalam bahasa tersembunyi dominasi simbolik serta struktur kekuasaan yang ada dalam masyarakat.Tata bahasa yang digunakan oleh seseorang mencerminkan kelas sosialnya di masyarakat.
            Orang yang berasal dari tingkat pendidikan tertentu memilih menggunakan bahasa yang lebih formal daripada mereka yang berasal dari tingkat pendidikan yang lebih rendah, begitu juga dalam masyarakat, mereka yang berada dalam kelas sosial tertentu menggunakan bahasa yang berbeda dengan mereka yang berada dalam kelas sosial yang lebih rendah.

Sumber
Jenkins, Richard. 2004. Membaca Pemikiran Pierre Bourdieu. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. 2005. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Penerbit Kencana.
Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. 2009. Teori Sosiologi dari Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern. Yogyakarta: Penerbit Kencana.


*Apabila mengutip tulisan ini, mohon sertakan sumber yang lengkap dari penulis, dan gunakan pengutipan yang baik dan benar, terima kasih.