Teori Habitus dan Distingsi
Oleh: Aji Muhammad Said
A. HABITUS
Habitus adalah struktur kognitif
yang memperantarai individu dan realitas social. Habitus juga merupakan
struktur subjektif yang terbentuk dari pengalaman individu berhubungan dengan
individu lain dalam jaringan struktur objektif yang ada di dalam ruang social.
Habitus di indikasikan sebagai skema-skema yang merupakan perwakilan konseptual
dari benda-benda dalam realitas social. Dalam perjalanan hidupnya manusia
memiliki skema yang terinternalisasi dan melalui skema-skema itu mereka
mempersepsi, memahami menghargai serta mengevaluasi realitas social. Berbagai
skema tercakup didalam habitus seperti konsep ruang, waktu, baik-buruk,
sakit-sehat, untung-rugi, berguna-tidak berguna, benar-salah, atas-bawah,
depan-belakang, kiri-kanan, indah-jelek, terhormat-terhina. Skema tersebut
diwujudkan didalam istilah sebagai hasil penamaan. Skema tersebut membentuk
struktur kognitif yang memberi kerangka acuan sebuah tindakan kepada individu
di dalam setiap keseharian mereka.
Skema tersebut diatas dapat dicontohkan dengan skema “sakit” yang merujuk pada suatu kondisi fisik yang tidak menyenangkan yang dialami oleh manusia. Karena sakit tidak menyenangkan maka tindakan manusia harus diarahkan untuk menghindarinya, termasuk menghindari orang-orang yang mungkin menyebabkan munculnya kondisi sakit. Contoh yang lain misalnya skema “pendidikan” merujuk pada cara terbaik untuk meningkatkan kualitas hidup menjadi lebih baik di dalam masyarakat. Oleh karena itu kualitas hidup yang menyenangkan dan menguntungkan, maka pendidikan itu baik, sehingga tindakan-tindakan yang mengarahkan individu pada perolehan pendidikan itu perlu dilakukan.
Habitus juga dapat dikatakan sebagai ketidaksadaran cultural yakni pengaruh sejarah yang tidak disadari dianggap alamiah. Oleh karena itu habitus bukanlah pengetahuan ataupun ide bawaan. (diakses, 2 januari 2015, http://sosiologifisib.wordpress.com/2011/01/19/sponsor-join-gratis-mudah-menjalankan/)
Skema tersebut diatas dapat dicontohkan dengan skema “sakit” yang merujuk pada suatu kondisi fisik yang tidak menyenangkan yang dialami oleh manusia. Karena sakit tidak menyenangkan maka tindakan manusia harus diarahkan untuk menghindarinya, termasuk menghindari orang-orang yang mungkin menyebabkan munculnya kondisi sakit. Contoh yang lain misalnya skema “pendidikan” merujuk pada cara terbaik untuk meningkatkan kualitas hidup menjadi lebih baik di dalam masyarakat. Oleh karena itu kualitas hidup yang menyenangkan dan menguntungkan, maka pendidikan itu baik, sehingga tindakan-tindakan yang mengarahkan individu pada perolehan pendidikan itu perlu dilakukan.
Habitus juga dapat dikatakan sebagai ketidaksadaran cultural yakni pengaruh sejarah yang tidak disadari dianggap alamiah. Oleh karena itu habitus bukanlah pengetahuan ataupun ide bawaan. (diakses, 2 januari 2015, http://sosiologifisib.wordpress.com/2011/01/19/sponsor-join-gratis-mudah-menjalankan/)
Atas dasar penolakan terhadap
definisi yang mempertentangkan antara objektivisme dengan subjektivisme, atau
antara individu dengan masyarakat.Asumsi yang ditentang oleh Bourdieu tersebut adalah asumsi Dukheim, strukturalisme Saussure,
Levi Strauss, dan structural Marxis, yang dianggap sebagai teoritisi objektivisme,karena
mengesampingkan keberadaan agen.
Bourdieu lebih dapat menyesuaikan
pemahamannya dengan asumsi sktrukturalis yang tanpa mengesampingkan keberadaan
agen, seperti teoritisi dari Sartre, Schutz, Blumer, dan Garfinkel yang
merupakan penganut subjektivisme.
Bourdieu memusatkan
perhatiannya pada tindakan praktik dalam menghilangkan dilema antara
objektivisme dan subjektivisme.Praktik merupakan hasil hubungan dialektika
antara strukturalis dan keagenan, praktik tidak dapat ditentukan secara
objektif saja, namun juga tidak dapat dianggap sebagai hasil dari kemauan bebas individu.Orientasi teoritisi dari
Bourdieu ini disebut dengan strukturalisme genetis atau strukturalis
konstrukalisme, dan juga strukturalis. Walaupun ia dapat membatasi antara
strukturalis dan konstrukvisme, namun karyanya lebih cenderung pada arah
strukturalisme, yakni dengan banyaknya kesamaan denganstrukturalisme daripada
konstrukvisme.
Menurut teoritisinya cara aktor merasa berdasar pada
posisinya dalam membangun kehidupan social adalah penting, namun persepsi dan
konstruksi yang ada di dalamnya digerakkan dan diatur oleh struktur. Hal ini
Nampak pada perspektif teoritisinya bahwa analisis
struktur objektif tidak dapat dipisahkan dari analisa asal usul struktur mental aktor
individual yang pada taraf tertentu adalah produk dari gabungan struktur sosial itu sendiri (George Ritzer dan Goodman.
2003: 520-521).
Sehingga
dapat disimpulkan mengenai inti dari teori habitus dan lingkungan adalah usaha
dari Bourdieu dalam menjembatani subjektivisme dan objektivisme, dan juga
mengulas mengenai hubungan dialektika keduanya, dimana posisi habitus yang
berada dalam pikiran aktor sementara lingkunganlah yang berada di luar pikiran
aktor.
Habitus
diperoleh sebagai akibat dari ditempatinya posisi sosial dalam waktu yang
notabene lama, mengakibatkan adanya variasi di dalam sifat posisi seseorang
dalam dunia sosialnya. Sehingga habitus antara satu orang dengan yang lainnya
tidak mungkin sama. Habitus yang termanifestasikan pada individu diperoleh dari
proses sejarah individu dan merupakan fungsi dari titik tertentu dalam sejarah
sosial dimana ia berada. Habitus dapat bertahan lama dan dapat pula berubah
sesuai dengan arena di mana individu berada. Seringkali, seseorang memiliki
habitus yang tidak sesuai, sehingga terjadi kesalahan dalam pergerakannya yang
hingga mengarah pada ‘penderitaan’ atau yang disebut dengan hysteria, sebagai
contoh ialah seseorang yang berhabitus dalam bidang agraria karena pergerakan
industrialisasi yang ada dia harus bekerja pada bidang industrialisasi yang
tidak sesuai dengan habitus awalnya sebagai seorang petani.
Inti
terpenting dari habitus Bourdieu yang menjadikannya beda dengan pemikiran
strukturalis ialah habitus ini merupakan satu struktur terinternalisasi yang
walaupun menghambat pikiran dan pilihan bertindak, habitus secara pasti tidak
selalu menentukan tindakan dari individu. Habitus hanyalah sekedar memberi
saran mengenai apa yang harus dipikirkan orang dan apa yang seharusnya mereka
pilih untuk dilakukan. Habitus memberikan prinsip yang digunakan orang untuk
memilih strategi yang akan mereka gunakan ketika berada dalam dunia sosial.
Walaupun Bourdieu dapat berhasil
membatasi stukturalisme dan kontruktivisme, namun karyanya menunjukan
kecenderungan pada arah strukturalisme, yakni dengan banyaknya kesamaan dengan
strukturalisme daripada kontruktivisme.. Berbeda dengan kebanyakan teoritisi
lain , menurutnya cara actor merasa berdasarkan posisinya dalam membangun
kehidupan sosial adalah penting, namun persepsi dan konstruksi yang ada
didalamnya itu digerakkan dan dikendalikan oleh stuktur Hal itu tercermin
dalam definisinya mengenai persepktif teoritisnya bahwa analisis
struktur objektif tidak dapat dipisahkan dari analisa asal usul struktur
mental actor individual yang hingga pada taraf tertentu adalah produk dari
gabungan gstruktur sosial itu sendiri. [3]
Jadi konsep inti dari teori habitus
dan lingkungan adalah usaha Bourdieu dalam menjembatani subjektivisme dan
objektivisme (Aldridge, 1998) dan mengulas hubungan dialektika keduanya
(Swartz, 1997), dimana posisi habitus yang berada di dalam pikiran actor
sementara lingkungan berada di luar pikiran aktor.
B. DISTINGSI
Dalam konsep distingsi ini Bourdieu
menjelaskan secara singkat suatu tindakan seseorang yang membedakan dirinya
untuk menunjukkan kelasnya dalam masyarakat. Misalnya saja gaya hidup yang
dilakukan oleh golongan ekonomi kelas atas untuk membedakan dengan golongan
kelas ekonomi yang lebih rendah. Lebih spesisfik lagi, Bordieu menegaskan
konsep distingsi ini ke arah variasi “selera” estesis, diposisi yang diperoleh
untuk membedakan beragam obyek cultural kenikmatan estesis dan memberi
apresiasi secara berbeda. Selera juga merupakan praktik yang diantaranya
berfungsi memberi individu maupun orang lain pemehaman akan tempatnya di dalam
tatanan sosial. Selera menyatukan mereka yang memiliki preferensi serupa dan
membedakannya dari mereka yang mempunyai preferensi berbeda, sehingga melalui
proses tersebut dapat mengklasifikasikan dirinya sendiri. Kita mampu mengkategorikan
orang menurut selera yang mereka perlihatkan, misalnya preferensi mereka pada
jenis musik atau film berbeda.Praktik-praktik ini terkait dalam konteks
hubungan timbal balik, yaitu dalam totalitas. Jadi selera-selera seni ataupun
film terkait dengan preferensi makanan, olahraga, gaya rambut,
dan lain-lain.
Bourdieu menggabungkan antara
habitus dan selera, selera dibentuk oleh disposisi yang mengakar kuat dan
bertahan lama daripada opini permukaan dan verbalisasi.Bahkan preferensi
seseorang atas aspek luar kebudayaan seperti pakaian, perabot, dan masakan
dibangun oleh habitus.Disposisi inilah yang membentuk kesatuan tak sadar suatu
kelas. Selanjutnya Bourdieu mengemukakan selera adalah pengatur pertandingan,
yang di dalamnya habitus menegaskan kedekatannya dengan habitus lain. Secara
dialektis, struktur kelas yang menciptakan habitus.
Bourdieu melihat kebudayaan sebagai
semacam ekonomi atau pasar.Di dalam pasar ini, orang memanfaatkan modal
kultural daripada modal ekonomi.Modal kultural ini merupakan akibat dari asal
usul sosial seseorang dan pengalaman pendidikan mereka. Di pasar inilah orang
yang memiliki modal dan menggunakannya sehingga mampu meningkatkan posisi
mereka atau justru mengalami kerugian yang pada gilirannya menyebabkan
merosotnya posisi mereka dalam ekonomi.
Bourdieu mengemukakan bahwa kekuatan
yang mendorong perilaku manusia adalah pencarian distingsi, yaitu untuk hadir
dalam ruang sosial, menduduki suatu posisi tertentu dalam ruang
sosial.Seseorang yang dibekali dengan kategori persepsi, skema klasifikasi, dan
selera tertentu sehingga memungkinkan menciptakan perbedaan.Sebagai contoh
misalnya seseorang yang suka bermain gitar memiliki nilai distingsi
dibandingkan yang suka bermain seruling yang dianggap kampungan (dilihat dari
sudut pandang penggemar gitar). Hal ini akibat dari dominannya sudut pandang
dan kekerasan simbolis yang dipraktikkan untuk menentang mereka yang mengadopsi
sudut pandang lain.
Bourdieu juga membahas tentang
bahasa, menurutnya bahasa bukanlah alat komunikasi yang bersifat netral tanpa
kepentingan. Menurut Bourdieu, bahasa adalah symbol kekuasaan. Dalam bahasa
tersembunyi dominasi simbolik serta struktur kekuasaan yang ada dalam
masyarakat.Tata bahasa yang digunakan oleh seseorang mencerminkan kelas
sosialnya di masyarakat.
Orang yang berasal dari tingkat
pendidikan tertentu memilih menggunakan bahasa yang lebih formal daripada
mereka yang berasal dari tingkat pendidikan yang lebih rendah, begitu juga
dalam masyarakat, mereka yang berada dalam kelas sosial tertentu menggunakan
bahasa yang berbeda dengan mereka yang berada dalam kelas sosial yang lebih
rendah.
Sumber
Jenkins,
Richard. 2004. Membaca Pemikiran Pierre Bourdieu. Yogyakarta: Kreasi
Wacana.
Ritzer,
George dan Douglas J. Goodman. 2005. Teori Sosiologi Modern. Jakarta:
Penerbit Kencana.
Ritzer,
George dan Douglas J. Goodman. 2009. Teori Sosiologi dari Teori Sosiologi
Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern. Yogyakarta:
Penerbit Kencana.
*Apabila
mengutip tulisan ini, mohon sertakan sumber yang lengkap dari penulis, dan
gunakan pengutipan yang baik dan benar, terima kasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar