Efek
Isi Pesan Media
Oleh: Aji Muhammad Said
Sumber Ilustrasi gambar: http://hdwallpapersfit.com/the-joker-hd-wallpapers.html
Efek
komunikasi massa yaitu tindakan bagaimana surat kabar dan televisi menambah
pengetahuan, mengubah sikap, atau menggerakan perilaku kita. Waktu menjelaskan
perkembangan penelitian efek komunikasi massa, kita telah melihat pasang surut
suatu media. Media dipandang sangat berpengaruh, tetapi ada saat lain ketika
media massa dipandang sedikit, bahkan hampir tidak ada penggaruhnya sama
sekali. Perbedaan ini tidak saja disebabkan karena perbedaan latar belakang
teoritis, atau latar belakang historis, tetapi juga karena perbedaan
mengartikan ‘efek’.
1.
Efek Kognitif Komunikasi Massa
Dalam
kaitannya dengan komunikasi massa, komunikasi massa tidak secara langsung
menimbulkan perilaku tertentu. Komunikasi massa, khususnya media massa,
cenderung mempengaruhi cara kita mengorganisasikan citra kita tentang
lingkungan, dan citra inilah yang mempengaruhi cara kita berperilaku.
Citra
adalah peta kita tentang dunia. Tanpa citra kita akan selalu berada dalam
suasana yang tidak pasti. Citra adalah gambaran tentang realitas dan tidak
harus selalu sesuai dengan realitas. Citra adalah dunia menurut persepsi kita.
Pembentukan dan Perubahan Citra. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, citra
terbentuk berdasarkan informasi yang kita terima. Media massa bekerja untuk
menyampaikan informasi. Buat khalayak, informasi itu dapat membentuk,
mempertahankan atau meredefinisikan citra.Menurut McLuhan, media massa adalah
perpanjangan alat indera kita. Dengan media massa kita memperoleh informasi
tentang benda, orang , atau tempat yang tidak kita alami secara langsung. Media
massa datang untuk menyampaikan informasi tentang lingkungan sosial politik;
televisi menjadi jendela kecil untuk menyaksikan berbagai peristiwa yang jauh
dari jangkauan alat indera kita.
Karena
khalayak tidak dapat dan tidak sempat mengecek apa yang disampaikan oleh media
massa, maka khalayak cenderung memperoleh informasi itu semata-mata berdasarkan
apa yang dilaporkan oleh media massa. Jadi, pada akhirnya kita membentuk citra
kita tentang lingkungan sosial kita berdasarkan realitas kedua yang ditampilkan
media massa. Karena televisi sering menyajikan adegan kekerasan, penonton
televisi cenderung memandang dunia lebih keras, lebih tidak aman, dan lebih
mengerikan.
Media
massa melaporkan dunia nyata secara selektif, sudah tentu media massa
mempengaruhi pembentukan citra tentang lingkungan sosial yang timpang, bias,
dan tidak cermat. Oleh karena itu, terjadilah apa yang disebut stereotype. Stereotype
adalah gambaran umum tentang individu, kelompok, profesi, atau masyarakat yang
tidak berubah-ubah, bersifat klise, dasn seringkali timpang dan tidak benar.
Di
sinilah bahaya pesan-pesan media massa. Itulah sebabnya ada orang-orang yang
memandang komunikasi massa sebagai ancaman terhadap nilai dan rasionalitas
manusia.
Menurut mereka, media massa menimbulkan depersonalisasi dan dehumanisasi manusia. Media massa bukan saja menyajikan realitas kedua, tetapi karena distorsi, media massa juga menipu manusia dan memberikan citra dunia yang keliru. Dalam hal ini C. Wright Mills menyebutnya sebagai ’pseudoworld” yang tidak serasi dengan perkembangan manusia.
Menurut mereka, media massa menimbulkan depersonalisasi dan dehumanisasi manusia. Media massa bukan saja menyajikan realitas kedua, tetapi karena distorsi, media massa juga menipu manusia dan memberikan citra dunia yang keliru. Dalam hal ini C. Wright Mills menyebutnya sebagai ’pseudoworld” yang tidak serasi dengan perkembangan manusia.
Selain
media berperan dalam membentuk citra, media massa juga berperan dalam
mempertahankan citra yang sudah dimiliki oleh khalayaknya. Teori ”reflective
–projective theory” beranggapan bahwa media massa adalah cermin masyarakat yang
mencerminkan suatu citra yang ambigu, artinya menimbulkan tafsir yang
macam-macam., sehingga pada media massa setiap orang memproyeksikan atau
melihat citranya. Media massa mencerminkan citra khalayak, dan khalayak
memproyeksikan citranya pada penyajian media massa.
Media massa mengubah citra khalayak
tentang lingkungannya. Media massa memberikan perincian, analisis, dan tinjauan
mendalam tentang berbagai peristiwa. Penjelasan itu tidak mengubah, tetapi
menjernihkan citra kita tentang Lingkungan.
Oleh karena itu, karena penjelasan media massa tersebut, kita bahkan dapat
menentukan mana isu penting dan tidak penting.
Contoh
Kasus:
Mayoritas Anak Merokok Karena
Terpengaruh Iklan
TEMPO.COM, Jakarta - Direktur
Eksekutif Lentera Anak Indonesia, Hery Chariansyah, mengatakan mayoritas anak
menjadi perokok lantaran terpengaruh iklan di televisi. "Iklan rokok
begitu massif melakukan promosi di media penyiaran yang bertujuan menjerat anak
menjadi perokok pemula," kata Hery dalam diskusi di kantor Yayasan Kanker
Indonesia, Kamis, 4 Juli 2013.
Menurut Hery promosi rokok di media
penyiaran seperti televisi dan radio sering mengasosiasikan rokok dengan citra
keren, gaul, percaya diri, setia kawan dan macho. Hal ini dinilainya merupakan
rangkaian diseminasi pesan sistematis dan taktik pemasaran yang menyesatkan.
Tak adanya larangan iklan rokok di
media penyiaran, menurut Hery, membuat anak dan remaja secara terus menerus
mendengar kampanye-kampanye dari industri rokok. Penyampaian pesan yang
berulang-ulang membuat individu anak dan remaja mengingat isi pesan dalam
iklan.
"Anak dikondisikan untuk
menganggap rokok sebagai hal biasa yang mampu merepresentasikan dirinya sesuai
dengan citra dalam iklan yang diinginkan." Berdasarkan data Lentera anak,
70 persen lebih perokok mulai merokok pada usia 19 tahun. Ada kecenderungan
jumlah perokok anak meningkat dua kali lipta dalam kurun waktu kurang dari 10
tahun.
Akhir 2012 lalu, Komisi Nasional
Perlindungan Anak telah melakukan penelitian dampak iklan rokok di televisi
terhadap minat anak untuk merokok. Dari 10 ribu anak usia Sekolah Menengah
Pertama di 10 kota ditemukan bahwa 93 persen anak mengetahui dan tertarik iklan
rokok di media televisi. Sebanyak 34 persen dari 10 ribu anak mengaku merokok
karena tertarik saat acara musik.
Tingginya pengaruh media televisi
dan radio terhadap minat anak merokok ini, menurut Hery, harus segera
dihentikan. "Membiarkan iklan rokok patut disebut tindakan menjual
generasi muda pada industri rokok."
Padahal menurut Hery, Undang-Undang
Nomor 23 tahun 2002 sudah mengamanahkan negara untuk melindungi anak termasuk
dari bahaya rokok. Alasannya sesuai Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang
kesehatan rokok dengan tegas disebut sebagai zat berbahaya karena bersifat
adiktif.
Lentera kata Hery mendesak
pemerintah untuk mengeluarkan aturan yang melarang iklan rokok di media
penyiaran. Momen ini bisa diambil dari revisi Undang-Undang Nomor 32 tentang
Penyiaran yang tengah dibahas di Komisi Penyiaran Dewan Perwakilan Rakyat. Hery
menyatakan Lentera kecewa lantaran larangan iklan rokok ini belum masuk dalam
draft revisi yang tengah dibahas.
2. Efek Afektif
Komunikasi Massa
Efek
ini kadarnya lebih tinggi daripada Efek Kognitif. Tujuan dari komunikasi massa
bukan hanya sekedar memberitahu kepada khalayak agar menjadi tahu tentang
sesuatu, tetapi lebih dari itu, setelah mengetahui informasi yang diterimanya,
khalayak diharapkan dapat merasakannya. Efek afektif media; selain memberikan
informasi, media memberikan efek emosional pada diri khalayaknya. Efek afektif
media diantaranya mampu mempengaruhi khalayak untuk lebih peduli pada masalah
sosial yang terjadi di masyarakat.
Pembentukan dan perubahan sikap
Semua sikap pada dasarnya bersumber
pada organisaasi kognitif yaitu pada pengalaman dan pengetauan yang kita
miliki. Sikap akan selalu diarahkan kepada objek, kelompok atau orang.
Hunbungannya adalah pasti didasarkan pada informasi yang kita peroleh tentang
sifat-sifat mereka. Dengan kata lain bahwa sikap kita itu bergantung dari
pencitraan kita terhadap sesuatu tersebut. Sebagai contoh jika kita memahami
mengenai penyakit cacar itu diakibatkan oleh virus, maka kita akan berfikir
positif terhadap vaksinasi. Berbeda ketika kita memahami bahwa penyakit cacar
itu diakibatkan oleh mahluk halus, maka kita akan befikir negatif terhadap
vaksinasi.
Pada tahun 1960, Joseph Klapper melaporkan
hasil penelitian yang komprehensif tentang efek media massa. Dalam hubungannya
dengan pembentukan dan perubahan sikap, pengaruh media massa dapat disimpulkan
pada lima prinsip umum :
1. Pengaruh komunikasi massa
diantarai oleh faktor-faktor seperti predisposisi personal, proses selektif,
keanggotaan kelompok (atau hal-hal yang dalam buku ini disebut faktor
personal).
2. Karena faktor-faktor ini,
komunikasi massa biasanya berfungsi memperkokoh sikap dan pendapat yang ada,
walaupun kadang-kadang berfungsi sebagai media pengubah (agent of change).
3. Bila komunikasi massa
menimbulkan perubahan sikap, perubahan kecil pada intensitas sikap lebih umum
terjadi daripada "konversi" (perubahan seluruh sikap) dari satu sisi
masalah ke sisi yang lain.
4. Komunikasi massa cukup efektif
dalam mengubah sikap pada bidang-bidang di mana pendapat orang lemah, misalnya
pada iklan komersial.
5. Komunikasi massa cukup afektif
dalam menciptakan pendapat tentang masalah-masalah baru bila tidak ada
predisposisi yang harus diperteguh (Oskamp, 1971:149).
Rangsangon Emosional
Suasana emosional yang mendahului
terpaan stimuli mewarnai respons kita pada stimuli itu. Faktor kedua, yang
mempengaruhi intensitas emosional ialah skema kognitif. Ini adalah semacam
"naskah" pada pikiran kita yang menjelaskan "alur"
peristiwa. Faktor ketiga yang mempengaruhi efek emosional media massa ialah
suasana terpaan (settiis of exposure). Faktor predisposisi individual mengacu
pada karakteristik khas individu. Orang yang melankolis cenderung menanggapi
tragedi lebih terharu daripada orang periang. Sebaliknya orang periang akan
lebih terhibur oleh adegan lucu dari pada orang melankolis.
Faktor identifikasi menunjukkan
sejauh mana orang merasa terlibat dengan tokoh yang ditampilkan dalam media
massa.dengan identifikasi penonton, pembaca atau pendengar menempatkan dirinya
dalam posisi tokoh. Ia ikut merasakan apa yang dirasakan tokoh, karena itu,
ketika tokoh identifikasi (disebut identifikan) itu kalah. Ia juga kecewa
ketika identifikan berhasil, ia ikut gembira. Mungkin juga kita menganggap
seorang tokoh dalam televisi atau film sebagai lawan kita. Yang terjadi
sekarang ialah disidentifikasi. Dalam posisi seperti ini, kita gembira bila
diidentifikan celaka, dan jengkel bila ia berhasil. Semuanya ini menunjukan
bahwa makin tinggi identifikasi kita dengan tokoh yang disajikan, maka besar
intensitas emosional pada diri kita akibat terpaan pesan media massa.
Rangsangan seksual
Merangsang yang ditampilkan media
massa. Stimuli erotis adalah merupakan stimuli yang membangkitkan gairah
seksual – internal dan eksternal. Stimuli perangsang yang bersifat eksternal
ini sangat kompleks karena kita bisa lihat bahwa rangsangan seksual sesorang
tidak hanya sekedar melihat objeknya, jadi walaupun tidak melihat objek erotis,
tidak menciumnya, tidak menyentuhnya manusia bisa terangsang secara seksual.
Ini terjadi karena stimulinya bisa beruabah disebabkan proses pelaziman atau
peneguhan.
Contoh
Kasus :
Akibat film horor, dua minggu Aurel
minta diantar ke kamar kecil
Merdeka.com - Walau mengaku penakut
namun bukan berarti tidak suka dengan film bergenre horor. Namun akibatnya usai
menonton rasa takutnya tidak hilang meski sudah sampai di rumah. Saking
takutnya, Aurel Hermansyah minta ditemani orang lain saat ke kamar kecil.
"Aku itu penakut banget, ke
toilet saja ditemenin. Tapi asyik saja, senang melihat film horor,"
ujarnya tersenyum, Selasa (2/10) di RCTI, Kebon Jeruk, Jakarta Barat.Aurel
mengaku rasa takut yang dirasakan setelah melihat film horor bisa sampai berhari-hari.
Namun begitu perasaan tersebut hilang, dia ingin kembali nonton film horor.
"Kalau takutnya bisa sampai
dua mingguan gitu. Kalau ke kamar mandi sendiri masih suka kebayang-bayang deh
tuh. Nggak ngerti kenapa bisa senang nonton horor. Asyik aja," tambahnya.
Kegemaran nonton film horor bukan
hanya dirinya, tapi seluruh keluarga. Aurel mengaku senang nonton film horor
produksi luar negeri, termasuk film Korea dan Jepang. "Aku suka banget.
Pipi, bunda, adikku juga suka. Aku lebih suka nonton horor Korea dan
Jepang," pungkasnya. (kpl/hen/dis/dar)
3. Efek Bihavioral Komunikasi Massa
Efek prososial media massa dapat dijelaskan
oleh teori Belajar Sosial dari Bandura. Menurut Bandura, kita belajar bukan
saja dari pengalaman langsung, tetapi dari peniruan atau peneladanan
(modeling). Perilaku merupakan hasil factor-faktor kognitif dan lingkungan.
Artinya, kita mampu memiliki keterampilan tertentu, bila terdapat jalinan
positif antara stimuli yang kita amati dan karakteristik diri kita.
Bandura menjelaskan proses belajar social dalam
empat tahapan proses: proses perhatian, proses pengingatan (retention), proses
reproduksi motoris, dan proses motivasional. Proses belajar diawali munculnya
peristiwa yang dapat diamati secara langsung oleh seseorangtertentu atau
gambaran pola pemikiran, yang disebut Bandura sebagai abstract modelling,
misalnya sikap, nilai, atau persepsi realitas social. Melalui media massa,
seseorang dapat mengamati orang lain yang terlibat dalam perilaku tertentu di
televisi, misalnya, dan dapat mempraktekkan perilaku itu dalm kehidupannya.
Menurut Bandura, peristiwa yang menarik
perhatian ialah yang tampak menonjol dan sederhana, terjadi berulang-ulang,
atau menimbulkan perasaan positif pada pengamatnya. Selain pengaruh factor
personal, faktor-faktor lain sebagai penentu dalam pemilihan apa yang akan
diperhatikan dan diteladani adalah: karakteristik demografis, kebutuhan,
suasana emosional, nilai, dan pengalaman masa lalu.
Setelah pengamatan, proses selanjutnya adalah
penyimpanan hasil pengamatan dalam pikiran untuk dipanggil kembali saat akan
bertindak sesuai teladan yang diberikan. Kemudian pada proses reproduksi
motoris seseorang menghasilkan kembali perilaku teladan atau tindakan yang
diamatinya. Pelaksanaan perilaku teladan dapat terjadi ketika dikuatkan dengan
suatu penghargaan atau motivasi. Inilah yang disebut proses motivasional.
Pembelajaran sosial terutama efektif dengan
media massa seperti televisi, dimana kita mendapatkan kekuatan yang berlipat
ganda dari model tunggal yang mengirimkan cara-cara berpikir dan berperilaku
baru bagi banyak orang di lokasi yang berlainan.
Media massa mampu mempengaruhi perilaku
khalayaknya. Menurut teori belajar sosial dari Bandura, orang cenderung meniru
perilaku yang diamatinya; stimuli menjadi teladan untuk perilakunya. Hampir
semua responden yang penulis amati berperilaku mengikuti trend yang ditampilkan
oleh televisi. Cara berbicara dengan menggunakan bahasa gaul, cara berpakaian
artis dalam sinetron, penggunaan produk-produk yang ditampilkan oleh iklan,
sampai cara mengemukakan pendapat ala mahasiswa yang identik dengan demonstrasi
dan membakar ban di jalan raya.
Efek Prososial Behavioral
Salah satu perilaku prososial ialah
memilki keterampilan yang bermanfaat bagi dirinya dan bagi orang lain.
Keterampilan seperti ini biasanya diperoleh dari saluran-saluran interpersonal:
orang tua, atasan, pelatih, atau guru.
Teori psikologi yang dapat
menjelaskan efek prososial media massa adalah teori belajar social . kita
belajar bukan saja dari pengalamn langsung, tetapi dari peniruan atau
peneladanan (modeling) perilaku merupakan hasil factor-faktor kognitif dan
lingkungan. Artinya, kita mampu memiliki keterampilan tertentu, bila terdapat
jalinan positif antara stimuli yang kita amati dan karakteristik diri kita.
Agresi sebagai Efek Komunikasi Massa
Menurut teori beljar social dari
bandura, orang cenderung meniru perilaku
yang diamati; stimuli menjadi teladan untuk perilakunya. Orang belajar bahasa
Indonesia yang baik setelah mengamatinya dalam televise. Wanita juga meniru
potongan rambut Lady Di yang disiarkan dalam media massa. Selanjutnya, kita
juga dapat menduga bahwa penyajian cerita atau adegan kekerasan dalam media
massa akan menyebabkan orang melakukan kekerasan pula; dengan kata lain,
mendorong orang menjadi agresif.
Efek
behavioral media menjelaskan bahwa media juga dapat mempengaruhi perilaku
khalayaknya. Sebagian besar, jika tidak semua orang mengikuti teladan yang
diberikan media. Perilaku dan gaya hidup yang ditampilkan televisi banyak
ditiru di kehidupan nyata.
Contoh Kasus : berita dari www.suaramerdeka.com
Meniru Adegan Film, Remaja Bakar Diri
SEATTLE - Peringatan berharga
mengenai betapa pentingnya para orang tua mendampingi anak-anak mereka menonton
televisi atau film.Seorang anak laki-laki berusia 15 tahun di negara bagian
Washington mengalami luka bakar serius gara-gara membakar dirinya sendiri.
Ulahnya itu dipicu keinginan meniru adegan dalam film Jackass yang ditayangkan
MTV.
Si anak dari Seattle, Bellevue,
Washington ini menyiram kausnya dengan alkohol Jumat malam lalu dan
menyalakannya, sementara teman-temannya berdiri di dekatnya sambil menyutingnya
dengan kamera video. Polisi mengatakan, anak-anak tersebut rupanya ingin
membuat film sendiri untuk dijual. Anak itu mengalami luka bakar sangat parah
di wajah dan bagian atas tubuhnya.
Remaja rekan korban pada mulanya
mengatakan kepada polisi kalau seseorang sengaja membakar kaus anak itu, saat
dia sedang berjalan pulang usai menonton pertandingan tim sepak bola SMU di
Issaquah, Washington.Namun, polisi kemudian menemukan sebuah ransel berisi kaus
yang tersiram alkohol, geretan dan kamera video.''Jelas kalau mereka hendak
berakting tetapi dengan cara yang sangat keliru,'' demikian pernyataan
kepolisian Issaquah. Ditambahkan, anak itu dapat dikenai sanksi hukum atas
dakwaan berbohong tentang insiden tersebut. Namun tentu saja, polisi harus
bekerja ekstra untuk membuktikan dakwaan ini.
Digugat
Film Jackass banyak berisi
adegan-adegan berbahaya dan keras yang dilakukan oleh aktor-aktor bayaran. Film
ini ditayangkan pada MTV pada tahun 2000 dan 2001 tetapi kemudian dicabut dari
jam tayang. Kendati demikian, versi layar lebar film itu diputar di bioskop
tiga minggu lalu dan telah meraup 53,3 juta dolar dari penjualan tiket.
Film itu memang sudah mencantumkan
peringatan berbunyi: ''Adegan dalam film ini dilakukan oleh orang-orang
profesional, jadi, jangan ada seorang pun yang ingin mencoba meniru adegan apa
pun di film ini.'' ''Kami menyesal kalau ada yang cedera, tetapi, insiden itu
sama sekali tidak ada yang mirip dengan adegan dalam film, baik di televisi
maupun di bioskop,'' kata juru bicara MTV.
Pada 2001, bintang pemeran Jackass
Johnny Knoxville dengan mengenakan pakaian antibakar melakukan adegan dibakar
untuk dijadikan sate bakar manusia. Seorang remaja mencoba meniru adegan itu
dan akibatnya dia harus dirawat di rumah sakit karena luka bakar parah.
Insiden-insiden semacam itu memicu munculnya gugatan terhadap MTV dan Viacom,
produser film itu.(rtr-gn-52)
Sumber Pustaka:
http://www.suaramerdeka.com/harian/0211/13/int4.htm
Sumber : http://m.merdeka.com/artis/akibat-film-horor-dua-minggu-aurel-minta-diantar-ke-kamar-kecil.html.
Rakhmat, Jalaluddin. Psikologi Komunikasi. Bandung: PT REMAJA
ROSDAKARYA, 2012.
*Apabila
mengutip tulisan ini, mohon sertakan sumber yang lengkap dari penulis, dan
gunakan pengutipan yang baik dan benar, terima kasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar