Selasa, 21 Juli 2015

Analisis Media - Efek Pesan Media







Efek Isi Pesan Media
Oleh: Aji Muhammad Said

Sumber Ilustrasi gambar: http://hdwallpapersfit.com/the-joker-hd-wallpapers.html 
Efek komunikasi massa yaitu tindakan bagaimana surat kabar dan televisi menambah pengetahuan, mengubah sikap, atau menggerakan perilaku kita. Waktu menjelaskan perkembangan penelitian efek komunikasi massa, kita telah melihat pasang surut suatu media. Media dipandang sangat berpengaruh, tetapi ada saat lain ketika media massa dipandang sedikit, bahkan hampir tidak ada penggaruhnya sama sekali. Perbedaan ini tidak saja disebabkan karena perbedaan latar belakang teoritis, atau latar belakang historis, tetapi juga karena perbedaan mengartikan ‘efek’.
1. Efek Kognitif Komunikasi  Massa
Dalam kaitannya dengan komunikasi massa, komunikasi massa tidak secara langsung menimbulkan perilaku tertentu. Komunikasi massa, khususnya media massa, cenderung mempengaruhi cara kita mengorganisasikan citra kita tentang lingkungan, dan citra inilah yang mempengaruhi cara kita berperilaku.
Citra adalah peta kita tentang dunia. Tanpa citra kita akan selalu berada dalam suasana yang tidak pasti. Citra adalah gambaran tentang realitas dan tidak harus selalu sesuai dengan realitas. Citra adalah dunia menurut persepsi kita. Pembentukan dan Perubahan Citra. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, citra terbentuk berdasarkan informasi yang kita terima. Media massa bekerja untuk menyampaikan informasi. Buat khalayak, informasi itu dapat membentuk, mempertahankan atau meredefinisikan citra.Menurut McLuhan, media massa adalah perpanjangan alat indera kita. Dengan media massa kita memperoleh informasi tentang benda, orang , atau tempat yang tidak kita alami secara langsung. Media massa datang untuk menyampaikan informasi tentang lingkungan sosial politik; televisi menjadi jendela kecil untuk menyaksikan berbagai peristiwa yang jauh dari jangkauan alat indera kita.
Karena khalayak tidak dapat dan tidak sempat mengecek apa yang disampaikan oleh media massa, maka khalayak cenderung memperoleh informasi itu semata-mata berdasarkan apa yang dilaporkan oleh media massa. Jadi, pada akhirnya kita membentuk citra kita tentang lingkungan sosial kita berdasarkan realitas kedua yang ditampilkan media massa. Karena televisi sering menyajikan adegan kekerasan, penonton televisi cenderung memandang dunia lebih keras, lebih tidak aman, dan lebih mengerikan.
Media massa melaporkan dunia nyata secara selektif, sudah tentu media massa mempengaruhi pembentukan citra tentang lingkungan sosial yang timpang, bias, dan tidak cermat. Oleh karena itu, terjadilah apa yang disebut stereotype. Stereotype adalah gambaran umum tentang individu, kelompok, profesi, atau masyarakat yang tidak berubah-ubah, bersifat klise, dasn seringkali timpang dan tidak benar.
Di sinilah bahaya pesan-pesan media massa. Itulah sebabnya ada orang-orang yang memandang komunikasi massa sebagai ancaman terhadap nilai dan rasionalitas manusia.
Menurut mereka, media massa menimbulkan depersonalisasi dan dehumanisasi manusia. Media massa bukan saja menyajikan realitas kedua, tetapi karena distorsi, media massa juga menipu manusia dan memberikan citra dunia yang keliru. Dalam hal ini C. Wright Mills menyebutnya sebagai ’pseudoworld” yang tidak serasi dengan perkembangan manusia.
Selain media berperan dalam membentuk citra, media massa juga berperan dalam mempertahankan citra yang sudah dimiliki oleh khalayaknya. Teori ”reflective –projective theory” beranggapan bahwa media massa adalah cermin masyarakat yang mencerminkan suatu citra yang ambigu, artinya menimbulkan tafsir yang macam-macam., sehingga pada media massa setiap orang memproyeksikan atau melihat citranya. Media massa mencerminkan citra khalayak, dan khalayak memproyeksikan citranya pada penyajian media massa.
Media massa mengubah citra khalayak tentang lingkungannya. Media massa memberikan perincian, analisis, dan tinjauan mendalam tentang berbagai peristiwa. Penjelasan itu tidak mengubah, tetapi menjernihkan citra kita tentang  Lingkungan. Oleh karena itu, karena penjelasan media massa tersebut, kita bahkan dapat menentukan mana isu penting dan tidak penting.

Contoh Kasus:
Mayoritas Anak Merokok Karena Terpengaruh Iklan

TEMPO.COM, Jakarta - Direktur Eksekutif Lentera Anak Indonesia, Hery Chariansyah, mengatakan mayoritas anak menjadi perokok lantaran terpengaruh iklan di televisi. "Iklan rokok begitu massif melakukan promosi di media penyiaran yang bertujuan menjerat anak menjadi perokok pemula," kata Hery dalam diskusi di kantor Yayasan Kanker Indonesia, Kamis, 4 Juli 2013.
Menurut Hery promosi rokok di media penyiaran seperti televisi dan radio sering mengasosiasikan rokok dengan citra keren, gaul, percaya diri, setia kawan dan macho. Hal ini dinilainya merupakan rangkaian diseminasi pesan sistematis dan taktik pemasaran yang menyesatkan.
Tak adanya larangan iklan rokok di media penyiaran, menurut Hery, membuat anak dan remaja secara terus menerus mendengar kampanye-kampanye dari industri rokok. Penyampaian pesan yang berulang-ulang membuat individu anak dan remaja mengingat isi pesan dalam iklan.
"Anak dikondisikan untuk menganggap rokok sebagai hal biasa yang mampu merepresentasikan dirinya sesuai dengan citra dalam iklan yang diinginkan." Berdasarkan data Lentera anak, 70 persen lebih perokok mulai merokok pada usia 19 tahun. Ada kecenderungan jumlah perokok anak meningkat dua kali lipta dalam kurun waktu kurang dari 10 tahun.
Akhir 2012 lalu, Komisi Nasional Perlindungan Anak telah melakukan penelitian dampak iklan rokok di televisi terhadap minat anak untuk merokok. Dari 10 ribu anak usia Sekolah Menengah Pertama di 10 kota ditemukan bahwa 93 persen anak mengetahui dan tertarik iklan rokok di media televisi. Sebanyak 34 persen dari 10 ribu anak mengaku merokok karena tertarik saat acara musik.
Tingginya pengaruh media televisi dan radio terhadap minat anak merokok ini, menurut Hery, harus segera dihentikan. "Membiarkan iklan rokok patut disebut tindakan menjual generasi muda pada industri rokok."
Padahal menurut Hery, Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 sudah mengamanahkan negara untuk melindungi anak termasuk dari bahaya rokok. Alasannya sesuai Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan rokok dengan tegas disebut sebagai zat berbahaya karena bersifat adiktif.
Lentera kata Hery mendesak pemerintah untuk mengeluarkan aturan yang melarang iklan rokok di media penyiaran. Momen ini bisa diambil dari revisi Undang-Undang Nomor 32 tentang Penyiaran yang tengah dibahas di Komisi Penyiaran Dewan Perwakilan Rakyat. Hery menyatakan Lentera kecewa lantaran larangan iklan rokok ini belum masuk dalam draft revisi yang tengah dibahas.


2. Efek Afektif Komunikasi Massa

Efek ini kadarnya lebih tinggi daripada Efek Kognitif. Tujuan dari komunikasi massa bukan hanya sekedar memberitahu kepada khalayak agar menjadi tahu tentang sesuatu, tetapi lebih dari itu, setelah mengetahui informasi yang diterimanya, khalayak diharapkan dapat merasakannya. Efek afektif media; selain memberikan informasi, media memberikan efek emosional pada diri khalayaknya. Efek afektif media diantaranya mampu mempengaruhi khalayak untuk lebih peduli pada masalah sosial yang terjadi di masyarakat.
Pembentukan dan perubahan sikap
Semua sikap pada dasarnya bersumber pada organisaasi kognitif yaitu pada pengalaman dan pengetauan yang kita miliki. Sikap akan selalu diarahkan kepada objek, kelompok atau orang. Hunbungannya adalah pasti didasarkan pada informasi yang kita peroleh tentang sifat-sifat mereka. Dengan kata lain bahwa sikap kita itu bergantung dari pencitraan kita terhadap sesuatu tersebut. Sebagai contoh jika kita memahami mengenai penyakit cacar itu diakibatkan oleh virus, maka kita akan berfikir positif terhadap vaksinasi. Berbeda ketika kita memahami bahwa penyakit cacar itu diakibatkan oleh mahluk halus, maka kita akan befikir negatif terhadap vaksinasi.
Pada tahun 1960, Joseph Klapper melaporkan hasil penelitian yang komprehensif tentang efek media massa. Dalam hubungannya dengan pembentukan dan perubahan sikap, pengaruh media massa dapat disimpulkan pada lima prinsip umum :
1. Pengaruh komunikasi massa diantarai oleh faktor-faktor seperti predisposisi personal, proses selektif, keanggotaan kelompok (atau hal-hal yang dalam buku ini disebut faktor personal).
2. Karena faktor-faktor ini, komunikasi massa biasanya berfungsi memperkokoh sikap dan pendapat yang ada, walaupun kadang-kadang berfungsi sebagai media pengubah (agent of change).
3. Bila komunikasi massa menimbulkan perubahan sikap, perubahan kecil pada intensitas sikap lebih umum terjadi daripada "konversi" (perubahan seluruh sikap) dari satu sisi masalah ke sisi yang lain.
4. Komunikasi massa cukup efektif dalam mengubah sikap pada bidang-bidang di mana pendapat orang lemah, misalnya pada iklan komersial.
5. Komunikasi massa cukup afektif dalam menciptakan pendapat tentang masalah-masalah baru bila tidak ada predisposisi yang harus diperteguh (Oskamp, 1971:149).

Rangsangon Emosional
Suasana emosional yang mendahului terpaan stimuli mewarnai respons kita pada stimuli itu. Faktor kedua, yang mempengaruhi intensitas emosional ialah skema kognitif. Ini adalah semacam "naskah" pada pikiran kita yang menjelaskan "alur" peristiwa. Faktor ketiga yang mempengaruhi efek emosional media massa ialah suasana terpaan (settiis of exposure). Faktor predisposisi individual mengacu pada karakteristik khas individu. Orang yang melankolis cenderung menanggapi tragedi lebih terharu daripada orang periang. Sebaliknya orang periang akan lebih terhibur oleh adegan lucu dari pada orang melankolis.
Faktor identifikasi menunjukkan sejauh mana orang merasa terlibat dengan tokoh yang ditampilkan dalam media massa.dengan identifikasi penonton, pembaca atau pendengar menempatkan dirinya dalam posisi tokoh. Ia ikut merasakan apa yang dirasakan tokoh, karena itu, ketika tokoh identifikasi (disebut identifikan) itu kalah. Ia juga kecewa ketika identifikan berhasil, ia ikut gembira. Mungkin juga kita menganggap seorang tokoh dalam televisi atau film sebagai lawan kita. Yang terjadi sekarang ialah disidentifikasi. Dalam posisi seperti ini, kita gembira bila diidentifikan celaka, dan jengkel bila ia berhasil. Semuanya ini menunjukan bahwa makin tinggi identifikasi kita dengan tokoh yang disajikan, maka besar intensitas emosional pada diri kita akibat terpaan pesan media massa.

Rangsangan seksual
Merangsang yang ditampilkan media massa. Stimuli erotis adalah merupakan stimuli yang membangkitkan gairah seksual – internal dan eksternal. Stimuli perangsang yang bersifat eksternal ini sangat kompleks karena kita bisa lihat bahwa rangsangan seksual sesorang tidak hanya sekedar melihat objeknya, jadi walaupun tidak melihat objek erotis, tidak menciumnya, tidak menyentuhnya manusia bisa terangsang secara seksual. Ini terjadi karena stimulinya bisa beruabah disebabkan proses pelaziman atau peneguhan.


Contoh Kasus :
Akibat film horor, dua minggu Aurel minta diantar ke kamar kecil

Merdeka.com - Walau mengaku penakut namun bukan berarti tidak suka dengan film bergenre horor. Namun akibatnya usai menonton rasa takutnya tidak hilang meski sudah sampai di rumah. Saking takutnya, Aurel Hermansyah minta ditemani orang lain saat ke kamar kecil.
"Aku itu penakut banget, ke toilet saja ditemenin. Tapi asyik saja, senang melihat film horor," ujarnya tersenyum, Selasa (2/10) di RCTI, Kebon Jeruk, Jakarta Barat.Aurel mengaku rasa takut yang dirasakan setelah melihat film horor bisa sampai berhari-hari. Namun begitu perasaan tersebut hilang, dia ingin kembali nonton film horor.
"Kalau takutnya bisa sampai dua mingguan gitu. Kalau ke kamar mandi sendiri masih suka kebayang-bayang deh tuh. Nggak ngerti kenapa bisa senang nonton horor. Asyik aja," tambahnya.
Kegemaran nonton film horor bukan hanya dirinya, tapi seluruh keluarga. Aurel mengaku senang nonton film horor produksi luar negeri, termasuk film Korea dan Jepang. "Aku suka banget. Pipi, bunda, adikku juga suka. Aku lebih suka nonton horor Korea dan Jepang," pungkasnya. (kpl/hen/dis/dar)


3. Efek Bihavioral Komunikasi Massa
Efek prososial media massa dapat dijelaskan oleh teori Belajar Sosial dari Bandura. Menurut Bandura, kita belajar bukan saja dari pengalaman langsung, tetapi dari peniruan atau peneladanan (modeling). Perilaku merupakan hasil factor-faktor kognitif dan lingkungan. Artinya, kita mampu memiliki keterampilan tertentu, bila terdapat jalinan positif antara stimuli yang kita amati dan karakteristik diri kita.
Bandura menjelaskan proses belajar social dalam empat tahapan proses: proses perhatian, proses pengingatan (retention), proses reproduksi motoris, dan proses motivasional. Proses belajar diawali munculnya peristiwa yang dapat diamati secara langsung oleh seseorangtertentu atau gambaran pola pemikiran, yang disebut Bandura sebagai abstract modelling, misalnya sikap, nilai, atau persepsi realitas social. Melalui media massa, seseorang dapat mengamati orang lain yang terlibat dalam perilaku tertentu di televisi, misalnya, dan dapat mempraktekkan perilaku itu dalm kehidupannya.
Menurut Bandura, peristiwa yang menarik perhatian ialah yang tampak menonjol dan sederhana, terjadi berulang-ulang, atau menimbulkan perasaan positif pada pengamatnya. Selain pengaruh factor personal, faktor-faktor lain sebagai penentu dalam pemilihan apa yang akan diperhatikan dan diteladani adalah: karakteristik demografis, kebutuhan, suasana emosional, nilai, dan pengalaman masa lalu.
Setelah pengamatan, proses selanjutnya adalah penyimpanan hasil pengamatan dalam pikiran untuk dipanggil kembali saat akan bertindak sesuai teladan yang diberikan. Kemudian pada proses reproduksi motoris seseorang menghasilkan kembali perilaku teladan atau tindakan yang diamatinya. Pelaksanaan perilaku teladan dapat terjadi ketika dikuatkan dengan suatu penghargaan atau motivasi. Inilah yang disebut proses motivasional.
Pembelajaran sosial terutama efektif dengan media massa seperti televisi, dimana kita mendapatkan kekuatan yang berlipat ganda dari model tunggal yang mengirimkan cara-cara berpikir dan berperilaku baru bagi banyak orang di lokasi yang berlainan.
Media massa mampu mempengaruhi perilaku khalayaknya. Menurut teori belajar sosial dari Bandura, orang cenderung meniru perilaku yang diamatinya; stimuli menjadi teladan untuk perilakunya. Hampir semua responden yang penulis amati berperilaku mengikuti trend yang ditampilkan oleh televisi. Cara berbicara dengan menggunakan bahasa gaul, cara berpakaian artis dalam sinetron, penggunaan produk-produk yang ditampilkan oleh iklan, sampai cara mengemukakan pendapat ala mahasiswa yang identik dengan demonstrasi dan membakar ban di jalan raya.

Efek Prososial Behavioral
Salah satu perilaku prososial ialah memilki keterampilan yang bermanfaat bagi dirinya dan bagi orang lain. Keterampilan seperti ini biasanya diperoleh dari saluran-saluran interpersonal: orang tua, atasan, pelatih, atau guru.
Teori psikologi yang dapat menjelaskan efek prososial media massa adalah teori belajar social . kita belajar bukan saja dari pengalamn langsung, tetapi dari peniruan atau peneladanan (modeling) perilaku merupakan hasil factor-faktor kognitif dan lingkungan. Artinya, kita mampu memiliki keterampilan tertentu, bila terdapat jalinan positif antara stimuli yang kita amati dan karakteristik diri kita.

Agresi sebagai Efek Komunikasi Massa
Menurut teori beljar social dari bandura, orang  cenderung meniru perilaku yang diamati; stimuli menjadi teladan untuk perilakunya. Orang belajar bahasa Indonesia yang baik setelah mengamatinya dalam televise. Wanita juga meniru potongan rambut Lady Di yang disiarkan dalam media massa. Selanjutnya, kita juga dapat menduga bahwa penyajian cerita atau adegan kekerasan dalam media massa akan menyebabkan orang melakukan kekerasan pula; dengan kata lain, mendorong orang menjadi agresif.
Efek behavioral media menjelaskan bahwa media juga dapat mempengaruhi perilaku khalayaknya. Sebagian besar, jika tidak semua orang mengikuti teladan yang diberikan media. Perilaku dan gaya hidup yang ditampilkan televisi banyak ditiru di kehidupan nyata.

Contoh Kasus : berita dari www.suaramerdeka.com

Meniru Adegan Film, Remaja Bakar Diri

SEATTLE - Peringatan berharga mengenai betapa pentingnya para orang tua mendampingi anak-anak mereka menonton televisi atau film.Seorang anak laki-laki berusia 15 tahun di negara bagian Washington mengalami luka bakar serius gara-gara membakar dirinya sendiri. Ulahnya itu dipicu keinginan meniru adegan dalam film Jackass yang ditayangkan MTV.
Si anak dari Seattle, Bellevue, Washington ini menyiram kausnya dengan alkohol Jumat malam lalu dan menyalakannya, sementara teman-temannya berdiri di dekatnya sambil menyutingnya dengan kamera video. Polisi mengatakan, anak-anak tersebut rupanya ingin membuat film sendiri untuk dijual. Anak itu mengalami luka bakar sangat parah di wajah dan bagian atas tubuhnya.

Remaja rekan korban pada mulanya mengatakan kepada polisi kalau seseorang sengaja membakar kaus anak itu, saat dia sedang berjalan pulang usai menonton pertandingan tim sepak bola SMU di Issaquah, Washington.Namun, polisi kemudian menemukan sebuah ransel berisi kaus yang tersiram alkohol, geretan dan kamera video.''Jelas kalau mereka hendak berakting tetapi dengan cara yang sangat keliru,'' demikian pernyataan kepolisian Issaquah. Ditambahkan, anak itu dapat dikenai sanksi hukum atas dakwaan berbohong tentang insiden tersebut. Namun tentu saja, polisi harus bekerja ekstra untuk membuktikan dakwaan ini.

Digugat
Film Jackass banyak berisi adegan-adegan berbahaya dan keras yang dilakukan oleh aktor-aktor bayaran. Film ini ditayangkan pada MTV pada tahun 2000 dan 2001 tetapi kemudian dicabut dari jam tayang. Kendati demikian, versi layar lebar film itu diputar di bioskop tiga minggu lalu dan telah meraup 53,3 juta dolar dari penjualan tiket.
Film itu memang sudah mencantumkan peringatan berbunyi: ''Adegan dalam film ini dilakukan oleh orang-orang profesional, jadi, jangan ada seorang pun yang ingin mencoba meniru adegan apa pun di film ini.'' ''Kami menyesal kalau ada yang cedera, tetapi, insiden itu sama sekali tidak ada yang mirip dengan adegan dalam film, baik di televisi maupun di bioskop,'' kata juru bicara MTV.
Pada 2001, bintang pemeran Jackass Johnny Knoxville dengan mengenakan pakaian antibakar melakukan adegan dibakar untuk dijadikan sate bakar manusia. Seorang remaja mencoba meniru adegan itu dan akibatnya dia harus dirawat di rumah sakit karena luka bakar parah. Insiden-insiden semacam itu memicu munculnya gugatan terhadap MTV dan Viacom, produser film itu.(rtr-gn-52)

Sumber Pustaka:

http://www.suaramerdeka.com/harian/0211/13/int4.htm
Sumber : http://m.merdeka.com/artis/akibat-film-horor-dua-minggu-aurel-minta-diantar-ke-kamar-kecil.html.
Rakhmat, Jalaluddin. Psikologi Komunikasi. Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA, 2012.


*Apabila mengutip tulisan ini, mohon sertakan sumber yang lengkap dari penulis, dan gunakan pengutipan yang baik dan benar, terima kasih.

Tidak ada komentar: