Rabu, 09 Mei 2018

Opini_Tombo Ati


Tombo Ati
Oleh Aji Muhammad Said

via unsplash

Barang siapa mengenal dirinya, kelak akan mengenal Tuhannya ((Man 'arafa nafsahu faqad' arafa Rabbahu), hadis Nabi Muhammad Saw. Hadist ini menjadikan cara berpikir yang sederhana.  Menuntun manusia kepada jalan hidupnya, bahwa ciptaan itu mengikuti sang Penciptannya. Apa yang Allah kehendaki manusia hanya mengikuti, menerima, menjalankan sesuai tugasnya. Khalifah yakni mengelola bumi dengan segala isinya. Membangun bumi, menciptakan generasi, beribadah. Tapi ketika relasi tersebut terjadi, apakah berhenti dalam perintah dan kewajiban saja? Coba berpikir secara relasi spiritual, tidak ada kah sesuatu yang lain? Tentunya ada, namun penemuan setiap orang tingkatannya berbeda-beda dalam berhubungan dengan Tuhannya. Hubungan ini memang takkan tercapai rasionalitasnya oleh akal atau hitungan, namun apapun bisa terjadi, karena ada cinta. Menyapa, menyebut nama, bahkan berdoa, menjadi suatu wujud eksistensi manusia terhadap Rabbnya.

Berdoalah di saat longgar maupun saat sempit, niscaya akan dimudahkan di saat-saat membutuhkan. Mengobrol dengan Tuhan, tidak hanya saat susah atau butuh.  Tapi kapanpun ketika teringat, Dia akan memenuhimu, melengkapimu, menyeimbangkanmu kembali. Ali bin Abi Thalib Ra pernah berkata, "Bukan kesulitan yang membuat kita takut, tapi ketakutan yang membuat kita sulit. Karena itu jangan pernah mencoba untuk menyerah dan jangan pernah menyerah untuk mencoba, dalam amanah, keikhlasan dan kejujuran. Maka jangan katakan pada Allah aku punya masalah, tetapi, katakan pada masalah Aku Punya Allah Yang Maha Segalanya".
Selain melalui wujud relasi komunikasi dengan Sang Pencipta, hal sederhana yang dapat kita lakukan adalah selalu menghadirkan Allah dalam pikiran kita. Alasannya, cinta adalah ketika dia tidak terlihat, tapi tetap ada di pikiranmu. Implementasi nyatanya dengan bersyukur apapun kondisi dan keadaannya. Syukur adalah salah satu maqam (derajat atau stage)  yang paling tertinggi dari sabar, khauf (takut) kepada Allah SWT.  Secara teori syukur merupakan maqam yang mulia dan pangkat yang tinggi sebagaimana telah ada dalam Al-quran Al-Nahl, : 114. Perlu diketahui bahwa, yang diminta Allah dari manusia adalah usahanya, bukan hasilnya. Hidup itu penuh keterbatasan, maka nikmatilah, apabila disyukuri maka akan ditambah.
Namun apakah setiap Doa itu didengarNya? Apakah doa yang disampaikan terkabul? Allah itu Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Sebuah doa bisa terkabul atau tidaknya itu tergantung faktor sebab-akibat hidup manusia. Sebagai manusia tentunya tidak bisa mengelak bahwa proses dan kejadian yang ada dihidupnya adalah transaksional (jual-beli). Berkaitaan dengan terkabul atau tidak itu ada kuncinya. Doa yang makbul adalah doa yang dibarengi dengan Sholawat, konsep mengenal Sholawat adalah dengan cinta, tidak akan pernah cukup hanya dengan ilmu dan syariat. Sholawat itu menyapa kekasih Allah yakni Rasullulah, dengan Sholawat itu sendiri membawa syafaat. Syafaat itu adalah sesuatu yang tidak terkabul menjadi terkabul karena faktor Rasullulah kekasih Allah.
Sholawat merupakan sebuah ibadah yang tidak terbatas jumlah, waktu, maupun jaraknya. Maknanya yaitu apabila kita mengucapkan sholawat maka ia akan menembus jagat raya, didengar oleh para malaikat yang kemudian turut menyampaikan do’a manusia yang mengucapkannya, serta mampu menembus alam kubur hingga sampai kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Hal ini terdapat di dalam hadits, berikut lafadznya: “Tidak ada salah seorang di antara kamu yang mengucapkan salam kepadaku sesudah aku mati melainkan Malaikat Jibril datang kepadaku seraya mengucapkan: “wahai Muhammad, ini Filan bin Fulan mengucapkan salam untukmu, maka aku menjawab: “dan atasnya salam dan rahmat serta berkah dari Allah”. {HR. Abu Daud}.
Sebagai manusia ketika relasi terjadi maka menimbulkan aspek lain yang timbul. Inilah rasa, itu semua bisa mengkrucut dan dikategorisasikan;
-Perasaan emotif sifatnya emosional.
-Perasaan intelektual sifatnya dari regulasi pemikiran kita tentang diri dan dunia kita.
-Perasaan spiritual merupakan bentuk rasa, ketika manusia bertemu dengan Allah tanpa perantara apapun.
Karena manusia punya akal, kemampuan berpikir tentang kewajiban dan hak, serta membuat keseimbangan, menjadikan nilai baik dan buruk sebagai kelengkapan manusia. Melalui kejadian dan rasa ini manusia berproses dan mendapat hidayah.
Keberlangsungan hidup manusia ini mengantarkan manusia kepada proses yang panjang dan tak berkesudahan. Titik temunya adalah pada kebenaran yang Allah hadirkan. Jangan melihat benar salah seseorang dengan ilmu katon. Karena benar salahnya seseorang terletak di dalam hatinya. Manusia itu tempatnya keliru dan lupa. Sama halnya ciptaan Allah lainnya, keliru dan lupa ada hikmahnya. Dengan keliru orang bisa belajar kebenarannya. Dengan lupa orang bisa menghilangkan rasa sakitnya luka lama. Manusia terkadang mudah mencari kesalahan, namun paling penting adalah mencari kebenaran. Mengedepankan akal pikir jangan emosi semata.
Yang Allah kasih hidayah maka Allah akan kasih yang Allah sesatkan maka akan Allah sesatkan. Dalam keadaan apapun bukannya manusia tetap bergantung pada Allah. Kekasih Allah adalah orang-orang yang tetap bersujud kepada Allah dalam keadaan susah maupun senang, gelap maupun terang. 
Lipurlah hati sesekali, karena hati jika lelah bisa menjadi buta (hadist rasul). Pada ilmu Magrifat jawa ada falsafah hidup yang begitu bijaksana. Raden maulana makdum ibrahim atau lebih di kenal "Sunan bonang" membawa suluk yang mengandung pesan tasawuf  “ Tombo ati”. Berikut “Tombo Ati” dan artinya;
Tombo ati iku limo perkarane : Obat hati ada lima perkaranya.
Kaping pisan moco Quran lan maknane : Yang pertama baca Qur’an dan maknanya.
Kaping pindo sholat wengi lakonono : Yang kedua, dirikanlah shalat malam.
Kaping telu wong kang sholeh kumpulono : Yang ketiga, berkumpullah dengan orang sholeh.
Kaping papat kudu weteng ingkang luwe : Yang keempat perbanyaklah berpuasa.
Kaping limo dzikir wengi ingkang suwe : Yang Kelima, perbanyaklah dzikir malam.
Salah sawijine sopo bisa anglakoni : Salah satunya siapa bisa menjalankan.
Mugi-mugi gusti Allah nyembadani : Semoga Allah mengambulkan harapan dan doa kita.


 *Apabila mengutip tulisan ini, mohon sertakan sumber yang lengkap dari penulis, dan gunakan pengutipan yang baik dan benar, terima kasih.


Sabtu, 05 Mei 2018

Opini_Hasanah





Hasanah


Oleh: Aji muhammad Said


desgin ilustrasi by author

QS. An Nahl (Lebah) – surah 16 ayat 125 [QS. 16:125]

اُدۡعُ اِلٰی سَبِیۡلِ رَبِّکَ بِالۡحِکۡمَۃِ وَ الۡمَوۡعِظَۃِ الۡحَسَنَۃِ وَ جَادِلۡہُمۡ بِالَّتِیۡ ہِیَ اَحۡسَنُ ؕ اِنَّ رَبَّکَ ہُوَ اَعۡلَمُ بِمَنۡ ضَلَّ عَنۡ سَبِیۡلِہٖ وَ ہُوَ اَعۡلَمُ بِالۡمُہۡتَدِیۡنَ

Ad’u ila sabiili rabbika bil hikmati wal mau’izhatil hasanati wajaadilhum biillatii hiya ahsanu inna rabbaka huwa a’lamu biman dhalla ‘an sabiilihi wahuwa a’lamu bil muhtadiin(a);


Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. 
―QS. 16:125

Tsana memiliki arti terpuji, Hasanah mempunyai arti kebaikan. Mauidoh Hasanah adalah tata cara penerapan Uswatun Hasanah,  sebagai contoh Kanjeng Nabi mencontohkan dirinya senantiasa berlaku baik kepada semua mahluk, dan dicontoh para sahabat. Namun mencermati yang terjadi di masyarakat, fenomenanya berbeda. Selama ini yang terjadi adalah banyak orang yang sering menerapkan Mauidoh hasanah (alim nuturi wong lio, tapi ora alim nuturi awake dewe/ora uswatun hasanah). Sebagai manusia apakah dibenarkan memberikan penilaian baik dan buruk kepada sesamanya. Ibarat sekolah seperti memberikan nilai rapot temannya sendiri, sedangkan yang berhak memberikan nilai itu adalah guru (Tuhan). Lebih penting lagi, bukankah kedudukan manusia itu sama di  mata Tuhan.
Pandangan berbeda jikalau menilai itu dilandaskan pada niatnya, misalnya mengingatkan, menasehati, memberikan petunjuk. Ini malah menjadi landasan dalam berdakwah, karena menunjukkan kebaikan. Namun apalah dikata, kita sebagai manusia tidak akan pernah tahu isi hati orang lain, yang bisa kita lakukan adalah meletakkan kepercayaan atas dasar Allah (inilah iman). Semua itu memang berfilosof pada inama a’malu bil niat (semua itu didasari pada niatnya). Ada orang menilai sesuatu karena hoby, karena pujian, karena ukurannya sendiri, bukan semata-mata untuk kebaikan (Allah).
Benang merahnya dari sini kita tarik pada kebijaksanaan dan dakwah. Dakwah istilah sederhananya adalah menyampaikan sesuatu untuk kebaikan. Dalam Menyampaikan sesuatu tentunya harus didasari dengan sikap bijaksana, semuanya diramu dulu disiapkan dengan penyampaian yang baik. Alasannya adalah setiap apa yang kita sampaikan bisa menjadi hikmah dan pengaruh yang baik, sehingga mudah diterima.  Bijaksana adalah membicarakan apa yang kamu tahu untuk kemaslahatan, sehingga tidak menimbulkan pergesekan. Mengatakan sesuatu dengan waktu yang tepat, walaupun benar ketika waktunya tidak tepat, bisa menimbulkan kekacauan.
Habib Syech bin Abdulkadir Assegaf pernah menyampaikan bahwa, dakwah yang baik itu adalah sistem dakwah Romo Kiyai terutama Walisongo. Hal ini mudah dan baik apalagi di Jawa. Dakwah menggunakan seni. Salah satunya sholawat yang dikemas dengan kesenian (lebih mengena ke masyarakat). Paribasan menyebutkan 'dadio banyu ning ojo kintir.' dimana tempat kita mesti masuk.  Dengan orang tua kita mesti menghormati dengan yang muda mesti menyayangi.  Ada orang maksiat jangan kita caci, dan yang taat kita harus ikuti. Inilah kebijaksanaan tersebut, pendapat ini juga selaras dengan ajaran magrifat Sunan Kalijaga, yang pernah berkata "Suro Diro Joyodiningrat, Lebur Dening Pangastuti" segala sifat keras hati, picik, angkara murka,  hanya bisa dikalahkan dengan sikap bijak lembut hati dan sabar.
Apa masalahnya ketemunya adalah dengan hati, problem manusia yang sering ditemui adalah pada hatinya. Keras hati adalah tidak peduli terhadap kesusahan dan penderitaan orang lain.  Seseorang yang hatinya mengalami kondisi tersebut tidak merasakan kepedihan dan penderitaan orang lain. Sumber keras hati adalah hawa nafsu. Hendaknya kita mengontrol nafsu kita dengan bijak agar tidak terlanjur keras hati. Lalu sifat picik adalah sempitnya pandangan, pengetahuan,  pikiran dan sebagainya. Maka jadilah orang yang longar (terbuka). Karena orang yang berpikiran terbuka memiliki pandangan bahwa dari orang yang paling kecilpun, ia bisa belajar banyak darinya atau belajar banyak dari hal yang paling keliru sekalipun,  ada hal positif yang bisa diambil. Apalagi sifat angkara murka yang berarti kebisingan dan ketamakan yang jelas menjadi sifat yang tidak patut ditiru dan hanya menjadi celaka diri.
Ketika hati beres, kemudian yang perlu dibenahi juga adalah cara berpikir. Hati-hati dalam berpikir karena setiap pikiran itu akan melahirkan perkataan dan setiap perkataan akan melahirkan tindakan itu bisa menjadi sebuah kebiasaan. Berpikir itu kudu benar dan tepat. sekali pun dalam melakukannya tidak bisa, setidaknya selalu ada hal positif yang akan diusahakan. Ketika menjadi sebuah budaya maka akan mengakar menjadi sebuah peradaban. Sehingga jangan sampai menjadi salah dalam berpikir. Sama seperti halnya hati sebagai tempat bertapa. Jadi berpikir dengan cara yang benar, tidak berpindah kesana kemari, tapi menetap sesuai tujuan.
Memahami tentang kebaikan sama seperti tentang kebenaran. Tidak akan pernah ada batasannya. Dalam dunia ini pernahkah terbesit sebuah pemikiran bahwa “ ketika kita menemukan kebenaran, dan kebenaran itu belum benar dari kebenaran yang telah dibenarkan”. Pasti kita akan selalu terupdate, dan diujung pencarian itu hanya ada Tuhan yang tersenyum untuk kita. Hal yang paling menimbulkan rasa syukur adalah bersenang-senang dengan kesenangan yang disenangi oleh Tuhan. Ajaklah orang lain juga, karena, orang yang baik hanyalah untuk dirinya sendiri tapi orang yang menyeru kebaikan ia juga membawa orang lain bersamanya.
Pada pemahaman ukuran tentang kebaikan. Di dunia ini ada 5 ukurannya;
1. Ukuran berdasar pada kebenaran dan kepentingan diri sendiri.
2. Ukuran berdasar pada kepentingan dan dan kebenaran orang banyak.
3. Ukuran berdasarkan benarnya Adat.
4. Ukuran berdasarkan benarnya Negara.
5. Ukuran berdasarkan benarnya Agama.
Dari kelima ukuran tersebut, mana yang bakal setiap orang pilih menentukan karakter dan arahan mana yang ia tuju dalam hidup. Bisa dikatakan itu kondisional, tapi bukankah kembali lagi pada niat, bahwa tiap orang memiliki dasarnya sendiri-sendiri. Mengutamakan Agama sebagai ukuran menjadikan keselamatan hidup. Agama itu membangun manusia, meliputi di dalamnya Aqidah yakni Tauhid artinya menyatukan diri dengan Allah, “manunggaling kawula gusti” artinya  dari cara berpikir, bertindak, berucap, beribadah landasannya satu untuk Allah. Kemudian Ahlak yakni hubungan antara, manusia dengan manusia. Ahlak dibangun dengan sebuah kejujuran, menuju kesana dimotori dengan perilaku yang baik, tidak merugikan orang lain. Kalau sudah demikian artinya manusia tersebut dekat dengan Allah. Baru kemudian ilmu. Tiga hal tersebut menjadi kuncinya hidup, sehingga ketika ditempakan, diposisikan dalam kondisi apapun, insyaallah manusia tersebut dipenuhi dengan rahmat, dan keselamatan. Dan bukankah arti Islam itu adalah aman. Wahaadzal baladil amiin (dan demi kota (Mekah) ini yang aman) simbol ajaran Rasullulah, yang artinya Islam itu hadir untuk mengamankan. Islam itu juga rahmatanlil'alamin yaitu rahmat bagi seluruh umat manusia, bukan hanya rahmatanlilmuslimin.
Maka dari itu, menuju kebaikan dengan berbuat baik tidak harus menunggu orang lain atau menjatuhkan orang lain. Hidup harus diisi dengan niat baik pada akal dan hatinya supaya menghasilkan produk-produk yang baik. Utamanya adalah kebaikan dengan disertai Sholawat,  karena itu akan mendatangkan syafa’at (payung yang menyelamatkan manusia, di hari ahkir)"Allahumaaa sholi a'lamuhammad."





*Apabila mengutip tulisan ini, mohon sertakan sumber yang lengkap dari penulis, dan gunakan pengutipan yang baik dan benar, terima kasih.