Hasanah
Oleh:
Aji muhammad Said
desgin ilustrasi by author
QS. An Nahl (Lebah) – surah 16 ayat 125 [QS. 16:125]
اُدۡعُ اِلٰی سَبِیۡلِ رَبِّکَ بِالۡحِکۡمَۃِ وَ الۡمَوۡعِظَۃِ الۡحَسَنَۃِ وَ جَادِلۡہُمۡ بِالَّتِیۡ ہِیَ اَحۡسَنُ ؕ اِنَّ رَبَّکَ ہُوَ اَعۡلَمُ بِمَنۡ ضَلَّ عَنۡ سَبِیۡلِہٖ وَ ہُوَ اَعۡلَمُ بِالۡمُہۡتَدِیۡنَ
Ad’u ila sabiili rabbika bil hikmati wal mau’izhatil hasanati wajaadilhum biillatii hiya ahsanu inna rabbaka huwa a’lamu biman dhalla ‘an sabiilihi wahuwa a’lamu bil muhtadiin(a);
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.
―QS. 16:125
Tsana
memiliki arti terpuji, Hasanah
mempunyai arti kebaikan. Mauidoh Hasanah
adalah tata cara penerapan Uswatun Hasanah, sebagai contoh Kanjeng Nabi mencontohkan dirinya
senantiasa berlaku baik kepada semua mahluk, dan dicontoh para sahabat. Namun
mencermati yang terjadi di masyarakat, fenomenanya berbeda. Selama ini yang
terjadi adalah banyak orang yang sering menerapkan Mauidoh hasanah (alim nuturi wong lio, tapi ora alim nuturi
awake dewe/ora uswatun hasanah). Sebagai manusia apakah dibenarkan
memberikan penilaian baik dan buruk kepada sesamanya. Ibarat sekolah seperti
memberikan nilai rapot temannya sendiri, sedangkan yang berhak memberikan nilai
itu adalah guru (Tuhan). Lebih penting lagi, bukankah kedudukan manusia itu
sama di mata Tuhan.
Pandangan
berbeda jikalau menilai itu dilandaskan pada niatnya, misalnya mengingatkan,
menasehati, memberikan petunjuk. Ini malah menjadi landasan dalam berdakwah,
karena menunjukkan kebaikan. Namun apalah dikata, kita sebagai manusia tidak
akan pernah tahu isi hati orang lain, yang bisa kita lakukan adalah meletakkan
kepercayaan atas dasar Allah (inilah iman). Semua itu memang berfilosof pada inama a’malu bil niat (semua itu didasari
pada niatnya). Ada orang menilai sesuatu karena hoby, karena pujian, karena
ukurannya sendiri, bukan semata-mata untuk kebaikan (Allah).
Benang
merahnya dari sini kita tarik pada kebijaksanaan dan dakwah. Dakwah istilah
sederhananya adalah menyampaikan sesuatu untuk kebaikan. Dalam Menyampaikan sesuatu tentunya harus didasari
dengan sikap bijaksana, semuanya diramu dulu disiapkan dengan penyampaian yang
baik. Alasannya adalah setiap apa yang kita sampaikan bisa
menjadi hikmah dan pengaruh yang baik, sehingga mudah diterima.
Bijaksana adalah membicarakan apa yang kamu
tahu untuk kemaslahatan, sehingga tidak menimbulkan pergesekan. Mengatakan sesuatu
dengan waktu yang tepat, walaupun benar ketika waktunya tidak tepat, bisa
menimbulkan kekacauan.
Habib Syech bin Abdulkadir Assegaf pernah menyampaikan
bahwa, dakwah yang baik
itu adalah sistem dakwah Romo Kiyai terutama Walisongo. Hal ini mudah dan baik apalagi di Jawa. Dakwah
menggunakan seni. Salah satunya sholawat yang dikemas dengan kesenian (lebih
mengena ke masyarakat). Paribasan menyebutkan 'dadio banyu ning ojo kintir.' dimana tempat kita mesti masuk. Dengan orang tua kita mesti menghormati
dengan yang muda mesti menyayangi. Ada orang
maksiat jangan kita caci, dan yang taat kita harus ikuti.
Inilah
kebijaksanaan tersebut, pendapat ini juga selaras dengan ajaran magrifat Sunan
Kalijaga, yang pernah berkata "Suro
Diro Joyodiningrat, Lebur Dening Pangastuti" segala sifat keras hati,
picik, angkara murka, hanya bisa
dikalahkan dengan sikap bijak lembut hati dan sabar.
Apa
masalahnya ketemunya adalah dengan hati, problem manusia yang sering ditemui adalah pada
hatinya. Keras hati
adalah tidak peduli terhadap kesusahan dan penderitaan orang lain. Seseorang yang hatinya mengalami kondisi
tersebut tidak merasakan kepedihan dan penderitaan orang lain. Sumber keras
hati adalah hawa nafsu. Hendaknya kita mengontrol nafsu kita dengan bijak agar
tidak terlanjur keras hati. Lalu
sifat picik adalah sempitnya
pandangan, pengetahuan, pikiran dan
sebagainya. Maka jadilah orang yang longar (terbuka). Karena orang yang
berpikiran terbuka memiliki pandangan bahwa dari orang yang paling kecilpun, ia
bisa belajar banyak darinya atau belajar banyak dari hal yang paling keliru
sekalipun, ada hal positif yang bisa
diambil. Apalagi sifat angkara murka yang berarti kebisingan dan ketamakan yang
jelas menjadi sifat yang tidak patut ditiru dan hanya menjadi celaka diri.
Ketika
hati beres, kemudian yang perlu dibenahi juga adalah cara berpikir. Hati-hati dalam berpikir karena setiap pikiran itu
akan melahirkan perkataan dan setiap perkataan akan melahirkan tindakan itu
bisa menjadi sebuah kebiasaan. Berpikir itu kudu benar dan tepat. sekali pun
dalam melakukannya tidak bisa, setidaknya selalu ada hal positif yang akan
diusahakan. Ketika menjadi sebuah budaya maka akan mengakar menjadi sebuah
peradaban. Sehingga jangan sampai menjadi salah dalam berpikir. Sama seperti
halnya hati sebagai tempat bertapa. Jadi berpikir dengan cara yang benar, tidak berpindah kesana kemari, tapi menetap sesuai
tujuan.
Memahami
tentang kebaikan sama seperti tentang kebenaran. Tidak akan pernah ada
batasannya. Dalam dunia ini pernahkah terbesit sebuah pemikiran bahwa “ ketika
kita menemukan kebenaran, dan kebenaran itu belum benar dari kebenaran yang
telah dibenarkan”. Pasti kita akan selalu terupdate,
dan diujung pencarian itu hanya ada Tuhan yang tersenyum untuk kita. Hal yang
paling menimbulkan rasa syukur adalah bersenang-senang dengan kesenangan yang
disenangi oleh Tuhan. Ajaklah orang lain juga, karena, orang yang baik hanyalah
untuk dirinya sendiri tapi orang yang menyeru kebaikan ia juga membawa orang
lain bersamanya.
Pada pemahaman ukuran tentang
kebaikan. Di dunia ini ada 5 ukurannya;
1. Ukuran berdasar pada kebenaran dan kepentingan diri
sendiri.
2. Ukuran berdasar pada kepentingan dan dan kebenaran
orang banyak.
3. Ukuran berdasarkan benarnya Adat.
4. Ukuran berdasarkan benarnya Negara.
5. Ukuran berdasarkan benarnya Agama.
Dari
kelima ukuran tersebut, mana yang bakal setiap orang pilih menentukan karakter
dan arahan mana yang ia tuju dalam hidup. Bisa dikatakan itu kondisional, tapi
bukankah kembali lagi pada niat, bahwa tiap orang memiliki dasarnya
sendiri-sendiri. Mengutamakan Agama sebagai ukuran menjadikan keselamatan
hidup. Agama itu membangun manusia, meliputi di dalamnya Aqidah yakni Tauhid
artinya menyatukan diri dengan Allah, “manunggaling
kawula gusti” artinya dari cara
berpikir, bertindak, berucap, beribadah landasannya satu untuk Allah. Kemudian Ahlak
yakni hubungan antara, manusia dengan manusia. Ahlak dibangun dengan sebuah
kejujuran, menuju kesana dimotori dengan perilaku yang baik, tidak merugikan
orang lain. Kalau sudah demikian artinya manusia tersebut dekat dengan Allah. Baru
kemudian ilmu. Tiga hal tersebut menjadi kuncinya hidup, sehingga ketika
ditempakan, diposisikan dalam kondisi apapun, insyaallah manusia tersebut
dipenuhi dengan rahmat, dan keselamatan. Dan bukankah arti Islam itu adalah
aman. Wahaadzal baladil amiin (dan demi kota (Mekah) ini yang aman)
simbol ajaran Rasullulah,
yang artinya Islam itu hadir untuk mengamankan. Islam itu juga rahmatanlil'alamin yaitu rahmat bagi seluruh umat manusia, bukan hanya rahmatanlilmuslimin.
Maka
dari itu, menuju kebaikan dengan berbuat baik tidak harus menunggu orang lain
atau menjatuhkan orang lain. Hidup harus diisi dengan niat baik pada akal dan
hatinya supaya menghasilkan produk-produk yang baik. Utamanya adalah kebaikan
dengan disertai Sholawat, karena itu
akan mendatangkan syafa’at (payung yang
menyelamatkan manusia, di hari ahkir).
"Allahumaaa sholi a'lamuhammad."
*Apabila mengutip tulisan ini, mohon sertakan sumber yang lengkap dari penulis, dan gunakan pengutipan yang baik dan benar, terima kasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar