Krisis Identitas
via unsplash
Seringkali kita diajarkan oleh Bapak dan Ibu Guru pendidik mengenai
sebuah cita-cita. Mereka seringkali memberikan gambaran tentang
bagaimana, konsep cita-cita yang sederhana, sebuah nilai yang dapat
dicapai di masa yang akan datang. Mulai berkaitan dengan passion, hobi,
kegemaran, dan lain sebagainya. Di mana dari hal-hal tersebut
memunculkan berbagai tujuan, motivasi, mimpi, dan harapan. Sebuah
penanaman nilai, dan identitas yang dapat dikenali oleh semua orang.
Apa yang diajarkan oleh lembaga pendidikan maupun lingkungan
memberikan pengenalan-pengenalan terhadap dunia yang begitu luas, juga
berbagai dimensi-dimensi yang ada di dalamnya. Sebuah cita-cita dapat
memberikan motivasi untuk membentuk identitas diri, memotivasi tindakan
seseorang berdasarkan apa yang ia suka. Masyarakat Indonesia belajar
tidak hanya pada sekolah saja, namun lingkungan, media massa menjadi
pelengkap dalam membentuk kerangka berpikir, pengalaman, dan pemahaman.
Mengenali identitas diri, tentunya harus ada pandangan pemikiran yang
dapat dijadikan rujukan, seperti pemikiran Afthonul Afif, yang
memberikan elaborasi tentang teori identitas sosial. Dalam
penjelasan mengenai identitas/konsep diri, terdapat dua hal yang dapat
dikenali pada diri seseorang, pertama identitas sosial, yakni identitas
yang menampilkan diri seseorang sebagai bagian dari sebuah kelompok.
Kedua, yakni identitas personal, di mana terbentuk atas dasar seleksi
diri pemahaman (self understanding),terhadap pengetahuan dan
pemahaman dunia luar. Jadi apabila ada seseorang bertindak sesuatu itu
pasti akan berpengaruh terhadap kelompoknya. Setiap tindakan
merepresentasikan nilai-nilai yang ia pahami. Atmosfir seperti inilah
yang kemudian ada di masyarakat. Sehingga perlu kecermatan, dan
kehati-hatian bahwa setiap tindakan seseorang berdampak juga pada
kelompoknya.
Setiap orang sebagai mahluk sosial selalu berkumpul, dan bergaul
untuk bertahan hidup. Dalam proses pencarian konsep identitas diri ini,
kadang setiap orang melalui jalur yang berbeda, cara yang berbeda pula.
Mereka memiliki kecenderungan berkelompok karena ada kesamaan, yang
menjadi sebab kesamaan adalah ada kepentingan, kesukaan, atau bahkan
merujuk pada permasalahan yang sama (masalah seperti keadilan,
ketimpangan, ketertaikan (pengaruh), dan lain sebagainya.
Muncul kemudian sebuah fenomena homogenitas. Terjadinya fenomena ini dilatar belakangi karena ada relasi masyarakat yang membaur dan bergaul. Homogenitas muncul
pada sebuah kelompok, yang menjadikan sebuah atribut dan
pengotak-ngotakan golongan, kelompok yang beraneka ragam. Baik dilihat
dari kriteria Suku, Ras, Bangsa, dan Kelompok dengan ciri khasnya
masing-masing. Sehingga ada istilah ke-kita-an (di dalam kelompok/in group), kemudian mereka (di luar kelompok/out group).
Hal ini menjadikan bias-bias dalam kelompok yang mengarahkan individu
untuk saling menonjolkan diri dengan ciri dan sifatnya masing-masing.
Tidak menampik kemungkinan bahwa masa kini sering terjadi persaingan
antar kelompok/ organisasi/ komunitas. Ketika persaingan muncul
memberikan banyak pengaruh dan dampak yang dapat kita cermati bersama.
Ada yang bernilai positif ada pula yang bernilai negatif. Namun
kecenderungan yang terjadi, menimbulkan dampak yang negatif (buruk).
Fakta-fakta di lapangan kentara sekali menunjukkan situasi seperti ini.
Ambillah contoh seperti sepak bola, dari satu bidang olahraga ini ada
persaingan yang sehat dan tidak sehat, namun yang sering muncul pada
pemberitaan media Indonesia (konvensional maupun online) adalah persaingan antar supporter yang
menjurus pada tindak kriminal berbau SARA dan kerusuhan. Banyak
nyanyian SARA berbau merendahkan bahkan umpatan terjadi di pertandingan.
Balas-membalas nyanyian SARA menjurus perpecahan, dan stigma
merendahkan kelompok lain sering terjadi.
Melihat supporter sepak bola tentunya juga tidak lepas dari
atribut yang dipakai dalam mendukung tim kebanggaan mereka. Persaingan
dengan menonjolkan identitas masing-masing itu sah-sah saja, dan
diperbolehkan. Namun jangan sampai menjatuhkan orang lain untuk
menunjukkan eksistensinya. Bukankah olahraga kemudian menjadi sebuah kegiatan yang suportif (kalah menag hal wajar, yang terpenting persaudaraan). Seperti sebuah pertandingan dalam olahraga, berkelompok pun harus ada respect dan suportifitasnya.
Persaingan dengan cara sehat, baik secara metode maupun visi-misinya,
sehingga kemudian dapat dimunculkan sosok kelompok yang mampu
menonjolkan diri dengan membuktikan kualitas-kapasitas diri dengan
kemampuan yang dimiliki, bukan secara rendah menjatuhkan orang lain,
menampilkan tindakan yang tidak berfaedah menampilkankeburukan
orang lain. Jadi bisa fokus pada kelompok sendiri menampilkan dukungan
dengan koreografi dan pertunjukan yang menarik (inilah kualitas),
analogi-analogi seperti ini pun juga sama bisa diterapkan dibidang lain
tidak hanya pada olahraga, namun politik, budaya, pendidikan, pekerjaan,
hobi juga.
Namun tidak semuanya menjurus pada persaingan, konflik yang tidak
sehat. Kuncinya adalah dalam individu itu sendiri, apabila masyarakat
mau berpikir secara terbuka, dan mengedepankan kolektivitasnya,
pasti akan selalu ada solusi disetiap konflik yang terjadi, bahkan bisa
menampilkan persaingan yang sehat melalui kemampuan masing-masing. Jadi
jangan sampai muncul istilah kelompok atau bagian anggota kelompok yang
menempatkan dirinya dalam perpecahan, dan berkecenderungan kaum sumbu
pendek, sekali terjadi pergesekan meledak (resepon yang berlebihan,
mengesampingkan pemikiran jangka panjang). Menjadi kelompok yang begitu
reaktif terhadap permasalahan. Perlu kesadaran yang tinggi bahwa manusia
sebagai mahluk itu tempatnya salah, dan tidak ada yang sempurna.
Siapapun kita, apapun pekerjaan kita, apapun kelompok kita, harus
paham bahwa kita memiliki kesamaan yang sama. Kesamaan yang menjadi
cita-cita luhur yang diajarkan secara turun-menurun dari para pendiri
bangsa, guru pendidik, hingga lingkungan kita sendiri. Ada kesadaran
sosial yang diturunkan kepada kita melalui Pancasila. Dengan membawa
atribut yang berbeda-beda kita harus tahu bahwa ada kesadaran cita-cita
yang agung dalam Pancasila, yakni mencerminkan Identitas Karakter Bangsa
Indonesia. Perbedaan dengan pluralisme, keanekaragaman budaya bukanlah
faktor penghambat, melainkan adalah kekayaan yang harus kita kelola,
aset karakter bangsa yang harus kita tanamkan juga pada anak, dan cucu
kita. Sebuah rasa cinta yang berbalut nasionalisme, bhineka tunggal ika (berbeda-beda tapi tetap sama).
Jangan sampai kemudian muncul krisis identitas, karena
memperbandingkan kelebihan dan kekurangan kelompok sendiri dengan
kelompok lain, semuanya mempunyai nilainya masing-masing, dengan tolak
ukur yang berbeda pula. Tujuan persaingan yang sehat membentuk karakter
bangsa yang kuat. Kita perlu sekali mawas diri dengan filosofi jawa Nglorok tanpa bolo, menang tanpa ngasorake yang
artinya manusia hidup jangan sampai menyombongkan diri, memberikan
anggapan bahwa kelompoknya sendiri lebih baik dibanding yang lain,
bersaing boleh tapi dengan cara yang baik, tidak merendahkan, dan tidak
melakukan kecurangan.
Perlu dibuang jauh-jauh pemikiran-pemikiran negatif, tindak
kejahatan, hingga ketidakpercayaan diri. Permasalahan utama, sebenarnya
bukan pada konflik yang terjadi, melainkan pada cerminan diri kita
sendiri, individu-individu yang belum secara penuh memahami
identitas-identitas dirinya. Inilah krisis identitas tersebut. Tindakan
yang belum paham bahwa, bermasyarakat, berkelompok-kelompok dalam
Indonesia itu saling beririsan, dan cakupan irisan yang paling besar
adalah menjadi bangsa Indonesia.
Penulis: Aji Muhammad Said
repost: http://blog.wonosobomuda.com/krisis-identitas/
*Apabila
mengutip tulisan ini, mohon sertakan sumber yang lengkap dari penulis,
dan gunakan pengutipan yang baik dan benar, terima kasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar