FILM “SANG PENCERAH” DALAM PRESPEKTIF KOMUNIKASI ANTARBUDAYA
Oleh: Aji Muhammad Said
Film
yang berjudul Sang Pencerah (Sebuah Awal Indonesia yang Tercerahkan).
Disutradara Hanung Bramantyo dan diproduseri oleh Ram Punjabi. Film yang berkisah tentang
riwayat Kyai Haji Ahmad Dahlan ini
muncul menyambut idul fitri 1430H. Sebagai sebuah karya,film ini diluncurkan ke publik dengan berbagai kepentingan, salah satunya menjadi
alat berkomunikasi dengan khalayak, khususnya Muhammadiyah, yang merupakan organisasi yang didirikan
Kyai Dahlan dimana sudah berusia satu abad.
‘Sang Pencerah’
menggambarkan bahwa Kyai Dahlan melakukan revisi arah kiblat dengan merujuk
tuntunan sahih bahwa salat harus kearah kiblat, Kakbah di kota Makkah.
Sementara untuk menentukan arah kiblat, Kyai Dahlan menggunakan Kompas dan Peta
Dunia sebagai hasil perkembangan jaman. Dan ketika ditanya tentang jaminan
kebenaran metodenya, dijawabnya bahwa “Allahlah
penentu kebenaran, kita hanya berikhtiar”.
Metode berfikir Kyai Haji Ahmad Dahlan ini adalah bagaimana mengembangkan
epistimologi penelitian Hadist Sahih dengan mengembangkan tradisi kritik.
Kritik terhadap teks (matan), kritik terhadap perawi dan konteks (logika), dan
juga diakhiri dengan istikharoh, berserah diri kepada Allah setelah ikhtiar
maksimalnya sebagai sebuah pencarian kebenaran intuitif.
Pada kritik tentang Nyadran, Tahlilan, Yasinan, Selamatan, pesan bahwa Kyai Dahlan
mengajak untuk memikirkan kembali (bukan melarang) praktek-praktek itu apakah ada dasarnya dalam ajaran agama,
atau mempertimbangkan aspek ekonominya dan lain sebagainya tampaknya juga
menuai tanggapan negatif dari khalayak pelakunya.
Islam dianggap sebagai
agama sempurna namun secara tanpa sadar dipelintir
menjadi : Orang Islam adalah Orang yang Sempurna. Belum lagi ketika Kyai
Dahlan dianggap kafir karena menggunakan meja, kursi, biola, peta dan kompas
yang merupakan buatan otang kafir. Demikian juga ketika Kyai Dahlan dianggap
kafir karena berpakaian seperti belanda, mengajar sekolah Belanda atau
bekerjasama dengan Budi Utomo yang identik sebagai organisasi priyayii kejawen.
Dalam film ini, terdapat nilai-nilai campuran antara
Agama Islam dengan kebiasaan budaya jawa. Seperti halnya slametan, kenduri,
berkatan. Slametan sendiri mempunyai arti sebagai wujud rasa syukur kepada
Tuhan Yang Mahaesa. Membahas konsep slametan dalam tradisi Jawa, tidak dapat
dilepaskan dengan pembahasan tentang kepercayaan yang menjadi pandangan hidup
masyarakat Jawa.
Sebelum datangnya Islam telah ada trelebih dahulu
Agama Hindu-Budha. Masyarakat Jawa prasejarah telah memeluk keyakinan yang
bercorak animisme dan dinamisme. Dimana animisme adalah penyembahan pada ruh yang
akhirnya memunculkan tradisi dan ritual untuk menghormati ruh nenek-moyang.
Penghormatan dan penyembahan biasanya dilakukan dengan sesaji dan selamatan.
Tujuan ritual ini adalah sebagai wujud permohonan pada ruh leluhur untuk
memberikan keselamatan bagi para keturunannya yang masih hidup. Sedangkan
Dinamisme adalah kepercayaan yang memandang bahwa benda-benda alam mempunyai
kekuatan keramat atau kesaktian yang tidak mempribadi, seperti pohon, batu,
hewan, dan manusia.
Tradisi slametan berakar dari budaya asli Jawa
(animisme dan dinamisme) dan selanjutnya dihidupkan dan diperkaya oleh budaya
Hindu Budha. Masuknya Islam di Jawa menggunakan pola “damai” dengan persuasi
sehingga masih terdapat simbol-simbol budaya masa lalu animisme-dinamis,
Hindu-Budha yang masih menjadi “pola” pikir dan paradigma.
Slametan adalah konsep universal yang di setiap
tempat pasti ada dengan nama yang berbeda. Hal ini karena kesadaran akan diri
yang “lemah” di hadapan kekuatan-kekuatan di luar diri manusia. Di Jawa Kuno,
kekuatan diri adalah kekuatan benda dan ruh nenek-moyang yang pada saat Islam datang
ditranformasikan pada selamat dari kekuatan Tuhan yang dapat merugikan diri
manusia.
Multikulturalisme merupakan
salah satu isu global yang tidak pernah ada akhirnya. Menjadi poin penting
adalah bagaimana komunikasi yang terjadi dengan latar belakang budaya yang
berbeda tersebut. Kebanyakan dalam komunikasi antar budaya ini pada awalnya
terjadi kesalahpahaman, yang akhirnya menimbulkan konflik. Kesalahpahaman ini
tentu diakibatkan karena adanya perbedaan baik secara pola pikir, sikap maupun
nilai. Isu-isu sosial dalam masyarakat seperti inilah yang ditangkap oleh media
sebagai wacana yang perlu untuk disosialisasikan. Penyampaian mengenai isu
sosial dalam masyarakat ini salah satunya dapat disampaikan melalui media film,
yang biasanya berangkat dari sebuah fenomena yang terjadi di sekitar kita. Seperti halnya Slametan, yang dipandang
berbeda-beda oleh setiap orang dan menjadi pro-kontra dalam film Sang Pencerah
ini.
Dalam film sang Pencerah ini Slametan ini dianggap
sebagai hal yang wajar di kehidupan pada massa itu, akan tetapi setelah waktu
dan perkembangan zaman, Kyai Haji Ahmad Dhalan, memandang bahwa sebenarnya
Slametan itu tidak perlu, jikalau hanya ingin mengucapkan syukur atau pun
berdoa, bisa dilakukan seorang diri. Berdoa dan Bersyukur disini dilakukan
dengan khusyuk, tidak harus dilakukan dengan berjamaah, karena pada masa itu
adalah masa dimana masyarakat indonesia pendapatan dan penhasilan
perokonomiannya masih sanggat rendah. Jadi syukuran itu jika dilaksanakan oleh
masyarakat kurang mampu maka akan menjadi beban (mengundang banyak orang),
namun tidak akan menjadi beban jika dilaksanakan sendiri. Kyai Haji Ahmad
Dahlan sendiri menggangap bahwa syukuran ini bersifat tidak wajib dilakukan,
kita hanya perlu mengantinya dengan melakukannya sendiri secara khusuk, namun
masih menjadi pertentagan pada massa itu.
Dunia ini selalu berubah
dan berkembang, menuju ke arah kebaikan ataupun keburukan. Islam sebagai agama
sempurna, adalah agama yang cocok diterapkan di setiap zamannya. Cara
penyebarannya pun dilakukan secara damai, tidak dengan kekerasan. Akulturasi
Islam sebagai suatu budaya yang ditujukan sebagai sebuah dakwah, boleh saja
dilakukan, akan tetapi metode penyampaian dakwahnya tidak bertentangan dengan
aturan-aturan agama islam.
Menjaga
warisan budaya merupakan bentuk kecintaan terhadap bangsa. Namun, jika budaya
itu sudah melenceng dari nilai-nilai agama dan dapat merusak aqidah, itu harus
mendapat perhatian yang serius. Dahulu hingga sekarang, warisan budaya berupa
praktik kegiatan ritual, yang menjurus kepada kemusyrikan hingga saat ini masih
terjadi di masyarakat. Rendahnya pengetahuan agama, ditambah alasan warisan
budaya menjadikan praktik kemusyrikan mengakar kuat dan sulit untuk
dihilangkan. Dan ini yang menjadikan peradaban bangsa dianggap rendah.
Dibutuhkan pemahaman dengan pendekatan sejarah untuk memberikan informasi
kepada masyarakat agar perbuatan itu dapat ditinggalkan.
Film mempunyai sumbangsih besar dalam pembentukann peradaban masyarakat karena
dapat memberikan pengaruh besar pada jiwa manusia.
Kekuatan
komunikasi dan persuasi
sebuah film, seperti Sang pencerah
merupakan kelebihan sekaligus kekurangan yang tidak bisa ditolak. Film
difungsikan sebagai penyebaran nilai-nilai karena masyarakat dapat dipengaruhi
oleh apa yang mereka lihat dari film tersebut. Dalam konteks ini, perilaku
masyarakat yang menyimpang dari nilai-nilai Islam perlu mendapatkan pencerahan.
Maka, dibutuhkan film yang memiliki nilai dan pesan dakwah yang mencerahkan,
yang dapat mengajak dan memberikan tuntunan kepada masyarakat untuk berbuat
baik.
Sumber:
Sang
pencerah sebuah awal indonesia, http://arifnur.blogspot.com/2010/09/sang-pencerah-sebuah-awal-indonesia.html, diakses pada tanggal 10
januari 2014, pukul 16.40.
Proses
akulturasi Islam dengan budya, http://turindraatp.blogspot.com/2011/03/proses-akulturasi-islam-dengan-budaya.html,
diakses pada tanggal 10 januari 2014, pukul 16.50.
Teknik Penyampaian Pesan Dakwah dalam Film Sang Pencerah
Karya Hanung Bramantyo,
http://library.walisongo.ac.id/digilib/gdl.php?mod=browse&op=read&id=jtptiain-gdl-arifiyahts-5841, diakses pada tanggal 10 januari
2014, pukul 16.55.
Komunikasi
antar budaya dalam film “gran torino” studi semiotik komunikasi antar budaya
amerika dan suku hmong dalam film “gran torino”, http://dglib.uns.ac.id/pengguna.php?mn=detail&d_id=17505,
diakses pada tanggal 12 januari 2014, pukul 21.33.
*Apabila
mengutip tulisan ini, mohon sertakan sumber yang lengkap dari penulis, dan
gunakan pengutipan yang baik dan benar, terima kasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar