Rabu, 15 Juli 2015

Review - Film Religi "Sang Pencerah"



FILM “SANG PENCERAH”  DALAM PRESPEKTIF KOMUNIKASI ANTARBUDAYA
 
Oleh: Aji Muhammad Said

Sumber ilustrasi gambar: https://anangsk.files.wordpress.com/2010/09/sang_pencerah.jpg

Film yang berjudul  Sang Pencerah (Sebuah Awal Indonesia yang Tercerahkan). Disutradara Hanung Bramantyo dan diproduseri oleh Ram Punjabi. Film yang berkisah tentang riwayat Kyai Haji Ahmad Dahlan ini muncul menyambut idul fitri 1430H. Sebagai sebuah karya,film ini diluncurkan ke publik dengan berbagai kepentingan, salah satunya menjadi alat berkomunikasi dengan khalayak, khususnya Muhammadiyah, yang merupakan organisasi yang didirikan Kyai Dahlan dimana sudah berusia satu abad.
‘Sang Pencerah’ menggambarkan bahwa Kyai Dahlan melakukan revisi arah kiblat dengan merujuk tuntunan sahih bahwa salat harus kearah kiblat, Kakbah di kota Makkah. Sementara untuk menentukan arah kiblat, Kyai Dahlan menggunakan Kompas dan Peta Dunia sebagai hasil perkembangan jaman. Dan ketika ditanya tentang jaminan kebenaran metodenya, dijawabnya bahwa “Allahlah penentu kebenaran, kita hanya berikhtiar”.
Metode berfikir Kyai Haji Ahmad Dahlan ini adalah bagaimana mengembangkan epistimologi penelitian Hadist Sahih dengan mengembangkan tradisi kritik. Kritik terhadap teks (matan), kritik terhadap perawi dan konteks (logika), dan juga diakhiri dengan istikharoh, berserah diri kepada Allah setelah ikhtiar maksimalnya sebagai sebuah pencarian kebenaran intuitif.
Pada kritik tentang Nyadran, Tahlilan, Yasinan, Selamatan, pesan bahwa Kyai Dahlan mengajak untuk memikirkan kembali (bukan melarang) praktek-praktek itu apakah ada dasarnya dalam ajaran agama, atau mempertimbangkan aspek ekonominya dan lain sebagainya tampaknya juga menuai tanggapan negatif dari khalayak pelakunya.
Islam dianggap sebagai agama sempurna namun secara tanpa sadar dipelintir menjadi : Orang Islam adalah Orang yang Sempurna. Belum lagi ketika Kyai Dahlan dianggap kafir karena menggunakan meja, kursi, biola, peta dan kompas yang merupakan buatan otang kafir. Demikian juga ketika Kyai Dahlan dianggap kafir karena berpakaian seperti belanda, mengajar sekolah Belanda atau bekerjasama dengan Budi Utomo yang identik sebagai organisasi priyayii kejawen.
Dalam film ini, terdapat nilai-nilai campuran antara Agama Islam dengan kebiasaan budaya jawa. Seperti halnya slametan, kenduri, berkatan. Slametan sendiri mempunyai arti sebagai wujud rasa syukur kepada Tuhan Yang Mahaesa. Membahas konsep slametan dalam tradisi Jawa, tidak dapat dilepaskan dengan pembahasan tentang kepercayaan yang menjadi pandangan hidup masyarakat Jawa.
Sebelum datangnya Islam telah ada trelebih dahulu Agama Hindu-Budha. Masyarakat Jawa prasejarah telah memeluk keyakinan yang bercorak animisme dan dinamisme. Dimana animisme adalah penyembahan pada ruh yang akhirnya memunculkan tradisi dan ritual untuk menghormati ruh nenek-moyang. Penghormatan dan penyembahan biasanya dilakukan dengan sesaji dan selamatan. Tujuan ritual ini adalah sebagai wujud permohonan pada ruh leluhur untuk memberikan keselamatan bagi para keturunannya yang masih hidup. Sedangkan Dinamisme adalah kepercayaan yang memandang bahwa benda-benda alam mempunyai kekuatan keramat atau kesaktian yang tidak mempribadi, seperti pohon, batu, hewan, dan manusia.
Tradisi slametan berakar dari budaya asli Jawa (animisme dan dinamisme) dan selanjutnya dihidupkan dan diperkaya oleh budaya Hindu Budha. Masuknya Islam di Jawa menggunakan pola “damai” dengan persuasi sehingga masih terdapat simbol-simbol budaya masa lalu animisme-dinamis, Hindu-Budha yang masih menjadi “pola” pikir dan paradigma.
Slametan adalah konsep universal yang di setiap tempat pasti ada dengan nama yang berbeda. Hal ini karena kesadaran akan diri yang “lemah” di hadapan kekuatan-kekuatan di luar diri manusia. Di Jawa Kuno, kekuatan diri adalah kekuatan benda dan ruh nenek-moyang yang pada saat Islam datang ditranformasikan pada selamat dari kekuatan Tuhan yang dapat merugikan diri manusia.
Multikulturalisme merupakan salah satu isu global yang tidak pernah ada akhirnya. Menjadi poin penting adalah bagaimana komunikasi yang terjadi dengan latar belakang budaya yang berbeda tersebut. Kebanyakan dalam komunikasi antar budaya ini pada awalnya terjadi kesalahpahaman, yang akhirnya menimbulkan konflik. Kesalahpahaman ini tentu diakibatkan karena adanya perbedaan baik secara pola pikir, sikap maupun nilai. Isu-isu sosial dalam masyarakat seperti inilah yang ditangkap oleh media sebagai wacana yang perlu untuk disosialisasikan. Penyampaian mengenai isu sosial dalam masyarakat ini salah satunya dapat disampaikan melalui media film, yang biasanya berangkat dari sebuah fenomena yang terjadi di sekitar kita. Seperti halnya Slametan, yang dipandang berbeda-beda oleh setiap orang dan menjadi pro-kontra dalam film Sang Pencerah ini.
Dalam film sang Pencerah ini Slametan ini dianggap sebagai hal yang wajar di kehidupan pada massa itu, akan tetapi setelah waktu dan perkembangan zaman, Kyai Haji Ahmad Dhalan, memandang bahwa sebenarnya Slametan itu tidak perlu, jikalau hanya ingin mengucapkan syukur atau pun berdoa, bisa dilakukan seorang diri. Berdoa dan Bersyukur disini dilakukan dengan khusyuk, tidak harus dilakukan dengan berjamaah, karena pada masa itu adalah masa dimana masyarakat indonesia pendapatan dan penhasilan perokonomiannya masih sanggat rendah. Jadi syukuran itu jika dilaksanakan oleh masyarakat kurang mampu maka akan menjadi beban (mengundang banyak orang), namun tidak akan menjadi beban jika dilaksanakan sendiri. Kyai Haji Ahmad Dahlan sendiri menggangap bahwa syukuran ini bersifat tidak wajib dilakukan, kita hanya perlu mengantinya dengan melakukannya sendiri secara khusuk, namun masih menjadi pertentagan pada massa itu.
Dunia ini selalu berubah dan berkembang, menuju ke arah kebaikan ataupun keburukan. Islam sebagai agama sempurna, adalah agama yang cocok diterapkan di setiap zamannya. Cara penyebarannya pun dilakukan secara damai, tidak dengan kekerasan. Akulturasi Islam sebagai suatu budaya yang ditujukan sebagai sebuah dakwah, boleh saja dilakukan, akan tetapi metode penyampaian dakwahnya tidak bertentangan dengan aturan-aturan agama islam.

Menjaga warisan budaya merupakan bentuk kecintaan terhadap bangsa. Namun, jika budaya itu sudah melenceng dari nilai-nilai agama dan dapat merusak aqidah, itu harus mendapat perhatian yang serius. Dahulu hingga sekarang, warisan budaya berupa praktik kegiatan ritual, yang menjurus kepada kemusyrikan hingga saat ini masih terjadi di masyarakat. Rendahnya pengetahuan agama, ditambah alasan warisan budaya menjadikan praktik kemusyrikan mengakar kuat dan sulit untuk dihilangkan. Dan ini yang menjadikan peradaban bangsa dianggap rendah. Dibutuhkan pemahaman dengan pendekatan sejarah untuk memberikan informasi kepada masyarakat agar perbuatan itu dapat ditinggalkan. Film mempunyai sumbangsih besar dalam pembentukann peradaban masyarakat karena dapat memberikan pengaruh besar pada jiwa manusia.
Kekuatan komunikasi dan persuasi sebuah film, seperti Sang pencerah merupakan kelebihan sekaligus kekurangan yang tidak bisa ditolak. Film difungsikan sebagai penyebaran nilai-nilai karena masyarakat dapat dipengaruhi oleh apa yang mereka lihat dari film tersebut. Dalam konteks ini, perilaku masyarakat yang menyimpang dari nilai-nilai Islam perlu mendapatkan pencerahan. Maka, dibutuhkan film yang memiliki nilai dan pesan dakwah yang mencerahkan, yang dapat mengajak dan memberikan tuntunan kepada masyarakat untuk berbuat baik.









Sumber:
Sang pencerah sebuah awal indonesia, http://arifnur.blogspot.com/2010/09/sang-pencerah-sebuah-awal-indonesia.html, diakses pada tanggal 10 januari 2014, pukul 16.40.
Proses akulturasi Islam dengan budya, http://turindraatp.blogspot.com/2011/03/proses-akulturasi-islam-dengan-budaya.html, diakses pada tanggal 10 januari 2014, pukul 16.50.
Teknik Penyampaian Pesan Dakwah dalam Film Sang Pencerah Karya Hanung Bramantyo, http://library.walisongo.ac.id/digilib/gdl.php?mod=browse&op=read&id=jtptiain-gdl-arifiyahts-5841, diakses pada tanggal 10 januari 2014, pukul 16.55.
Komunikasi antar budaya dalam film “gran torino” studi semiotik komunikasi antar budaya amerika dan suku hmong dalam film “gran torino”, http://dglib.uns.ac.id/pengguna.php?mn=detail&d_id=17505, diakses pada tanggal 12 januari 2014, pukul 21.33.



*Apabila mengutip tulisan ini, mohon sertakan sumber yang lengkap dari penulis, dan gunakan pengutipan yang baik dan benar, terima kasih.

Tidak ada komentar: