Kamis, 30 Maret 2017

Opini_Fitrah Manusia



Fitrah Manusia
Oleh Aji Muhammad Said

via unsplash


Pandangan mengenai manusia secara prespektif dibagi menjadi dua. Pertama menurut agama, dijelaskan melalui Al-Qur’an, kedua berdasarkan pakar yang disampaikan ke dalam beberapa dasar teori ilmu pengetahuan. Membahas mengenai manusia berdasarkan sudut pandang agama, dasarnya adalah keyakinan, di mana adanya manusia selalu ada kaitannya dengan Tuhan Yang Mahaesa. Namun ketika membahas manusia dari sudut pandang pakar, maka asalnya adalah dari buah pemikiran manusia itu sendiri.
Pada perspektif pakar, terdapat pemikiran yang mengambarkan pemahaman mengenai peran manusia. Linnasus menyebutkan bahwa manusia itu merupakan mahluk yang rasional, menggunakan logikanya dalam berpikir, sehingga disebut sebagai Homo Sapiens/Animal Rasional. Kemudian manusia sebagai mahluk yang pandai berbahasa, cakap dalam berkomunikasi antara satu dengan yang lainnya, sehingga manusia dikenal sebagai Homo Laquen, ini menurut Revez. Ada juga yang menyebut manusia sebagai Homo Faber, Berqsan menjelaskan bahwa manusia sebagai mahluk tukang, manusia digambarkan mampu membangun gedung yang tinggi, mampu membuat kendaraan, mampu menciptakan teknologi. Kemudian Aristoteles menerangkan bahwa manusia adalah Zoon Politicon, manusia erat kaitannya dengan bidang politik. Huizinga menambahkan bahwa manusia sebagai Homo Ludens yakni mahluk yang suka bermain. Selain itu AJ Barnet K. menuturkan bahwa manusia adalah Homo deleqans, mahluk yang mewakili, di bumi manusia mewakili mahluk yang tinggal di dalamnya, di mana perananya adalah mewakili mahluk-mahluk lain yang tinggal di bumi.
Apa yang disampaikan pakar tersebut sebenarnya, telah dijelaskan telebih dahulu dalam Al-Qur’an. Manusia dalam Al-Qur’an mempunyai nilai yang berbeda jika dibandingkan dengan mahluk Allah yang lainnya. Pada surat (At-tin:4) diterangkan, manusia sebagai makhluk dengan konstruksi terbaik, kemudian pada surat (Al-Jatsiyah:13) manusia digambarkan, sebagai mahluk yang mampu mengolah alam, bumi dengan segala isinya. Sejumlah pakar menyebutkan manusia sebagai Homo Sapiens/Animal rasional (Linnasus), Homo Laquen/Pandai berbahasa (Revez), Homo Faber/ Makhluk tukang (Berqsan), Zoon Politicon (Aristotels), Homo Ludens/suka main (Huizinga),  semua itu telah ada dalam Al-Qur’an surat (Al-Alaq:4), bahwa manusia itu sebenarnya adalah makhluk yang berilmu dan berbudaya. Pada (Al-Ahzab:72) manusia mempunyai peran sebagai pengemban amanat dan (Al-Mudatsir:38) manusia akan dimintai pertanggung jawaban, itu semua merupakan hal-hal yang melekat bagi manusia sebagai seorang pemimpin yang mewakili. Ini telah disampaikan dalam Al-Qur’an sebelum Homo deleqans (AJ Barnet K).
Lalu bagaimana manusia hadir di dunia ini? Dalam Al-Qur’an menyebutkan mengenai proses penciptaan manusia dengan dua tahapan, yaitu tahapan pertama, penciptaan Nabi Adam disebut dengan tahapan primordial. Manusia diciptakan dari al-tin (tanah), al-turob (tanah debu), min shal (tanah liat), min hamain masnun (tanah lumpur hitam yang busuk) yang dibentuk Allah dengan seindah-indahnya, kemudian Allah meniupkan ruh dari-Nya ke dalam diri (manusia) tersebut (Q.S, Al An’aam (6):2, Al Hijr (15):26,28,29, Al Mu’minuun (23):12, Al Ruum (30):20, Ar Rahman (55):4).
Selanjutnya yang kedua, tahapan biologi. Penciptaan manusia adalah melalui proses biologi, manusia diciptakan dari inti sari tanah yang dijadikan air mani (nuthfah) yang tersimpan dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian nuthfah itu dijadikan darah beku (‘alaqah) yang menggantung dalam rahim. Darah beku tersebut kemudian dijadikan-Nya segumpal daging (mudghah) dan kemudian (izam dan lahm) pembentukan tulang yang mendahului pembentukan oto-otot. Apabila tulang belulang telah dibentuk, otot-otot akan membungkus rangka, menjadi janin (Khalqan akhar) lalu kepadanya ditiupkan ruh (Q.S, Al Mu’minuun (23):12-14).
Pada mulanya manusia terlahir ke dunia dengan kedaan suci, namun melalui berbagai proses dan perkembangan kehidupan manusia mengalami beberapa problematika, hingga menjadikannya mahluk yang tidak pernah luput dari kesalahan. Fenomena yang terjadi di zaman ini telah menampilkan sebuah krisis bagi manusia yang zaman modern. Beberapa tokoh bidang pendidikan menuturkan kendala-kendala yang dihadapi manusia modern. Tokoh terkenal Peter L. Berger salah satunya, menuturkan bahwa “manusia modern mengalami anomi, di mana, manusia sekarang ini (kehilangan ikatan, perasaan aman, dan arti kehidupan).” Hal ini juga disampaikan oleh Ali Syari’ati, bahwa “fenomena modernitas merupakan kebahagiaan semu yang telah membawa kemrosotan dan kehancuran kemanusiaan.” Bahkan Emile Durkheim mempunyai istilah dunia tanpa norma, menurut beliau “Kehidupan modern normlesnes (tanpa acuan norma), menggeser nilai spiritual kepada material.” Jalaluddin Rahmat, bahkan mempunyai istilah chimera monstery, “Modernitas telah melahirkan chimera monstery (mahluk bertubuh manusia berperilaku binatang, perilakunya seperti robot dan tidak memiliki jati diri).”
Padahal sudah dijelaskan dalam Al-Qur’an bahwa manusia itu merupakan mahluk yang ber-Tuhan. Dalam Dalil Naqli, menyebutkan “Alastu birabbikum, Qaaluu balaa syahidnaa “(Bukankah Aku ini Tuhanmu ?)” ( Al-A’raf: 172). Kemudian Dalil Aqli, menerangkan bagaimana kondisi manusia, saat manusia memikirkan tentang eksistensi diri, di dalam hatinya muncul pertanyaan seperti; siapa saya sebenarnya, dan dari mana saya berasal, mengapa saya ada, dan siapa yang menciptakan saya, apa tujuan hidup saya sebenarnya, saat ditimpa musibah baru memikirkan Tuhannya. Maka sudah menjadi hal yang mendasar bahwa manusia adalah mahluk beragama. Fitrah manusia itu memerlukan agama sebagai tiang hidupnya. Manusia memiliki fitrah yang berarti suci atau bersih, dimana itu menjadi potensi dasar dalam bertauhid (beragama), karena kedudukan manusia itu adalah sebagai ciptaan dimana harus addien (patuh) kepada Sang Penciptanya.
Menjadi baik atau buruk itu merupakan sebuah pilihan seorang manusia. Pilihan tersebut didasari sesuatu yang terletak dari dalam diri, yakni hati. Nabi Muhammad SAW bersabda: “Ketahuilah, sesungguhnya di dalam tubuh manusia ada segumpal daging, apabila daging itu baik maka baiklah tubuh manusia itu, akan tetapi bila daging itu rusak maka rusak pula tubuh manusia itu. Ketahuilah bahwa sesungguhnya segumpal daging itu adalah hati.”[HR. Bukhari-Muslim].
Berbicara mengenai hati, terdapat berbagai macam klasifikasinya. Menurut Ibnul Qoyyim Al-jauzi, hati manusia itu dibedakan menjadi tiga jenis; Pertama, Qalbun Shahih yaitu hati yang sehat dan bersih (hati yang sehat) dari setiap nafsu yang menentang perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan dari setiap penyimpangan yang menyalahi keutamaan-Nya. Sehingga ia menggabdikan diri hanya kepada Allah, dan mencari penyelesaian hukum dengan pedoman dari rasul-Nya. Karenanya, hati ini murni pengabdiannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, baik pengabdian secara iradat (kehendak), mahabbah (cinta), tawakkal (berserah diri), takut atas siksa-Nya dan mengharapkan karunia-Nya. Kedua, Qalbun Maridl (hati yang sakit) adalah hati yang sebenarnya memiliki kehidupan, namun di dalamnya tersimpan benih-benih penyakit berupa kejahiliahan. Hati yang sedang di cekam sakit akan mudah menjadi parah apabila tidak diobati dengan hikmah dan maud’izah. Firman Allah SWT: “Agar Dia menjadikan apa yang dimasukkan setan, sebagai cobaan bagi orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan yang keras hatinya.”[QS. Al-Hajj:53]. Ketiga, Qalbun Mayyit (hati yang mati) adalah kebalikan dari hati yang sehat, hati yang mati tidak pernah mengenal Tuhannya, tidak mencintai atau ridha kepada-Nya. Ia berdiri berdampingan dengan syahwatnya dan memperturutkan keinginan hawa nafsunya, walaupun hal ini menjadikan Allah Subhanahu wa Ta’ala marah dan murka akan perbuatannya. Ia tidak peduli lagi apakah Allah ridha atau murka terhadap apa yang dikerjakannya, sebab ia memang telah mengabdi kepada selain Allah. Jika mencintai didasarkan atas hawa nafsu, begitu pula dengan membenci, dan memberi berlandaskan nafsu pula.
Lalu bagaimana posisi kita sebagai manusia, sebagai muslim untuk menjaga hati agar menjadi hati yang suci adalah dengan kalimah toyyibah sangatlah diutamakan, di samping itu rajin istigfar juga penting. Menjadi Ihsan yang mempunyai semangat dan mimpi yang besar dalam menggapai cita-cita menjadi hal yang baik untuk masa depan. Kemudian selalu fokus terhadap rasa syukur dan nikmat Allah yang tiada batas. Membangun komitmen ilahiyah senantiasa menjalankan segala perintah dan menjauhi segala bentuk larangan-Nya. Membangun alat proteksi diri secara otomatis, sadar akan dosa. Terakhir adalah selalu bertaubat ketika mengetahui berbuat kesalahan atau dosa, serta memohon ampunan-Nya.



*Apabila mengutip tulisan ini, mohon sertakan sumber yang lengkap dari penulis, dan gunakan pengutipan yang baik dan benar, terima kasih.


Tidak ada komentar: