Fitrah Manusia
Oleh Aji Muhammad Said
via unsplash
Pandangan mengenai manusia secara
prespektif dibagi menjadi dua. Pertama menurut agama, dijelaskan melalui Al-Qur’an, kedua berdasarkan pakar yang
disampaikan ke dalam beberapa dasar teori ilmu pengetahuan. Membahas mengenai
manusia berdasarkan sudut pandang agama, dasarnya adalah keyakinan, di mana
adanya manusia selalu ada kaitannya dengan Tuhan Yang Mahaesa. Namun ketika
membahas manusia dari sudut pandang pakar, maka asalnya adalah dari buah
pemikiran manusia itu sendiri.
Pada perspektif pakar, terdapat pemikiran
yang mengambarkan pemahaman mengenai peran manusia. Linnasus menyebutkan bahwa
manusia itu merupakan mahluk yang rasional, menggunakan logikanya dalam
berpikir, sehingga disebut sebagai Homo
Sapiens/Animal Rasional. Kemudian manusia sebagai mahluk yang pandai
berbahasa, cakap dalam berkomunikasi antara satu dengan yang lainnya, sehingga
manusia dikenal sebagai Homo Laquen,
ini menurut Revez. Ada juga yang menyebut manusia sebagai Homo Faber, Berqsan menjelaskan bahwa manusia sebagai mahluk
tukang, manusia digambarkan mampu membangun gedung yang tinggi, mampu membuat
kendaraan, mampu menciptakan teknologi. Kemudian Aristoteles menerangkan bahwa
manusia adalah Zoon Politicon,
manusia erat kaitannya dengan bidang politik. Huizinga menambahkan bahwa
manusia sebagai Homo Ludens yakni
mahluk yang suka bermain. Selain itu AJ Barnet K. menuturkan bahwa manusia
adalah Homo deleqans, mahluk yang
mewakili, di bumi manusia mewakili mahluk yang tinggal di dalamnya, di mana perananya
adalah mewakili mahluk-mahluk lain yang tinggal di bumi.
Apa yang disampaikan pakar
tersebut sebenarnya, telah dijelaskan telebih dahulu dalam Al-Qur’an. Manusia
dalam Al-Qur’an mempunyai nilai yang berbeda jika dibandingkan dengan mahluk
Allah yang lainnya. Pada surat (At-tin:4)
diterangkan, manusia sebagai makhluk dengan konstruksi terbaik, kemudian
pada surat (Al-Jatsiyah:13) manusia
digambarkan, sebagai mahluk yang mampu mengolah alam, bumi dengan segala
isinya. Sejumlah pakar menyebutkan manusia sebagai Homo Sapiens/Animal rasional (Linnasus), Homo Laquen/Pandai berbahasa (Revez), Homo Faber/ Makhluk tukang (Berqsan), Zoon Politicon (Aristotels), Homo
Ludens/suka main (Huizinga), semua itu
telah ada dalam Al-Qur’an surat (Al-Alaq:4), bahwa manusia itu sebenarnya
adalah makhluk yang berilmu dan berbudaya. Pada (Al-Ahzab:72) manusia mempunyai peran sebagai pengemban amanat dan (Al-Mudatsir:38) manusia akan dimintai
pertanggung jawaban, itu semua merupakan hal-hal yang melekat bagi manusia sebagai
seorang pemimpin yang mewakili. Ini telah disampaikan dalam Al-Qur’an sebelum Homo deleqans (AJ Barnet K).
Lalu bagaimana manusia hadir di
dunia ini? Dalam Al-Qur’an menyebutkan mengenai proses penciptaan manusia dengan
dua tahapan, yaitu tahapan pertama, penciptaan Nabi Adam disebut dengan tahapan
primordial. Manusia diciptakan dari al-tin
(tanah), al-turob (tanah debu), min shal (tanah liat), min hamain masnun (tanah lumpur hitam
yang busuk) yang dibentuk Allah dengan seindah-indahnya, kemudian Allah
meniupkan ruh dari-Nya ke dalam diri (manusia) tersebut (Q.S, Al An’aam (6):2, Al Hijr (15):26,28,29, Al Mu’minuun (23):12, Al
Ruum (30):20, Ar Rahman (55):4).
Selanjutnya yang kedua, tahapan
biologi. Penciptaan manusia adalah melalui proses biologi, manusia diciptakan
dari inti sari tanah yang dijadikan air mani (nuthfah) yang tersimpan dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian nuthfah itu dijadikan darah beku (‘alaqah) yang menggantung dalam rahim.
Darah beku tersebut kemudian dijadikan-Nya segumpal daging (mudghah) dan kemudian (izam dan lahm) pembentukan tulang yang mendahului pembentukan
oto-otot. Apabila tulang belulang telah dibentuk, otot-otot akan membungkus
rangka, menjadi janin (Khalqan akhar)
lalu kepadanya ditiupkan ruh (Q.S, Al
Mu’minuun (23):12-14).
Pada mulanya manusia terlahir ke
dunia dengan kedaan suci, namun melalui berbagai proses dan perkembangan
kehidupan manusia mengalami beberapa problematika, hingga menjadikannya mahluk
yang tidak pernah luput dari kesalahan. Fenomena yang terjadi di zaman ini
telah menampilkan sebuah krisis bagi manusia yang zaman modern. Beberapa tokoh
bidang pendidikan menuturkan kendala-kendala yang dihadapi manusia modern. Tokoh
terkenal Peter L. Berger salah satunya, menuturkan bahwa “manusia modern
mengalami anomi, di mana, manusia sekarang ini (kehilangan ikatan, perasaan
aman, dan arti kehidupan).” Hal ini juga disampaikan oleh Ali Syari’ati, bahwa
“fenomena modernitas merupakan kebahagiaan semu yang telah membawa kemrosotan
dan kehancuran kemanusiaan.” Bahkan Emile Durkheim mempunyai istilah dunia
tanpa norma, menurut beliau “Kehidupan modern normlesnes (tanpa acuan norma), menggeser nilai spiritual kepada
material.” Jalaluddin Rahmat, bahkan mempunyai istilah chimera monstery, “Modernitas telah melahirkan chimera monstery (mahluk bertubuh manusia berperilaku binatang,
perilakunya seperti robot dan tidak memiliki jati diri).”
Padahal sudah dijelaskan dalam
Al-Qur’an bahwa manusia itu merupakan mahluk yang ber-Tuhan. Dalam Dalil Naqli,
menyebutkan “Alastu birabbikum, Qaaluu balaa syahidnaa “(Bukankah Aku ini Tuhanmu ?)” ( Al-A’raf: 172). Kemudian Dalil Aqli, menerangkan bagaimana kondisi
manusia, saat manusia memikirkan tentang eksistensi diri, di dalam hatinya
muncul pertanyaan seperti;
siapa saya sebenarnya, dan
dari mana saya berasal, mengapa saya ada, dan siapa yang menciptakan saya, apa
tujuan hidup saya sebenarnya, saat ditimpa musibah baru memikirkan Tuhannya. Maka
sudah menjadi hal yang mendasar bahwa manusia adalah mahluk beragama. Fitrah
manusia itu memerlukan agama sebagai tiang hidupnya. Manusia memiliki fitrah
yang berarti suci atau bersih, dimana itu menjadi potensi dasar dalam bertauhid
(beragama), karena kedudukan manusia itu adalah sebagai ciptaan dimana harus addien (patuh) kepada Sang Penciptanya.
Menjadi baik atau buruk itu merupakan sebuah pilihan
seorang manusia. Pilihan tersebut didasari sesuatu yang terletak dari dalam
diri, yakni hati. Nabi
Muhammad SAW bersabda: “Ketahuilah,
sesungguhnya di dalam tubuh manusia ada segumpal daging, apabila daging itu
baik maka baiklah tubuh manusia itu, akan tetapi bila daging itu rusak maka
rusak pula tubuh manusia itu. Ketahuilah bahwa sesungguhnya segumpal daging itu
adalah hati.”[HR. Bukhari-Muslim].
Berbicara mengenai hati, terdapat
berbagai macam klasifikasinya. Menurut Ibnul Qoyyim Al-jauzi, hati manusia itu
dibedakan menjadi tiga jenis; Pertama, Qalbun Shahih yaitu hati yang sehat dan bersih (hati yang
sehat) dari setiap nafsu yang menentang perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan
dari setiap penyimpangan yang menyalahi keutamaan-Nya. Sehingga ia menggabdikan
diri hanya kepada Allah, dan mencari penyelesaian hukum dengan pedoman dari
rasul-Nya. Karenanya, hati ini murni pengabdiannya kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala, baik pengabdian secara iradat (kehendak), mahabbah
(cinta), tawakkal (berserah diri), takut atas siksa-Nya dan mengharapkan
karunia-Nya. Kedua, Qalbun Maridl
(hati yang sakit) adalah hati yang sebenarnya memiliki kehidupan, namun di
dalamnya tersimpan benih-benih penyakit berupa kejahiliahan. Hati yang sedang
di cekam sakit akan mudah menjadi parah apabila tidak diobati dengan hikmah dan
maud’izah. Firman Allah SWT: “Agar Dia menjadikan apa yang dimasukkan
setan, sebagai cobaan bagi orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan
yang keras hatinya.”[QS. Al-Hajj:53]. Ketiga, Qalbun Mayyit (hati yang mati) adalah kebalikan dari hati yang
sehat, hati yang mati tidak pernah mengenal Tuhannya, tidak mencintai atau
ridha kepada-Nya. Ia berdiri berdampingan dengan syahwatnya dan memperturutkan
keinginan hawa nafsunya, walaupun hal ini menjadikan Allah Subhanahu wa Ta’ala
marah dan murka akan perbuatannya. Ia tidak peduli lagi apakah Allah ridha atau
murka terhadap apa yang dikerjakannya, sebab ia memang telah mengabdi kepada
selain Allah. Jika mencintai didasarkan atas hawa nafsu, begitu pula dengan
membenci, dan memberi berlandaskan nafsu pula.
Lalu bagaimana posisi kita
sebagai manusia, sebagai muslim untuk menjaga hati agar menjadi hati yang suci
adalah dengan kalimah toyyibah sangatlah diutamakan, di samping itu rajin
istigfar juga penting. Menjadi Ihsan yang mempunyai semangat dan mimpi yang
besar dalam menggapai cita-cita menjadi hal yang baik untuk masa depan.
Kemudian selalu fokus terhadap rasa syukur dan nikmat Allah yang tiada batas. Membangun
komitmen ilahiyah senantiasa menjalankan segala perintah dan menjauhi segala
bentuk larangan-Nya. Membangun alat proteksi diri secara otomatis, sadar akan
dosa. Terakhir adalah selalu bertaubat ketika mengetahui berbuat kesalahan atau
dosa, serta memohon ampunan-Nya.
*Apabila
mengutip tulisan ini, mohon sertakan sumber yang lengkap dari penulis, dan
gunakan pengutipan yang baik dan benar, terima kasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar