Selasa, 05 Mei 2020

Opini_Cahaya Sang Pencipta

Cahaya Sang Pencipta
oleh: Aji Muhammad Said

via unsplash



ٱللَّهُ نُورُ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ ۚ مَثَلُ نُورِهِۦ كَمِشْكَوٰةٍ فِيهَا مِصْبَاحٌ ۖ ٱلْمِصْبَاحُ فِى زُجَاجَةٍ ۖ ٱلزُّجَاجَةُ كَأَنَّهَا كَوْكَبٌ دُرِّىٌّ يُوقَدُ مِن شَجَرَةٍ مُّبَٰرَكَةٍ زَيْتُونَةٍ لَّا شَرْقِيَّةٍ وَلَا غَرْبِيَّةٍ يَكَادُ زَيْتُهَا يُضِىٓءُ وَلَوْ لَمْ تَمْسَسْهُ نَارٌ ۚ نُّورٌ عَلَىٰ نُورٍ ۗ يَهْدِى ٱللَّهُ لِنُورِهِۦ مَن يَشَآءُ ۚ وَيَضْرِبُ ٱللَّهُ ٱلْأَمْثَٰلَ لِلنَّاسِ ۗ وَٱللَّهُ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمٌ

 Arab-Latin: Allāhu nụrus-samāwāti wal-arḍ, maṡalu nụrihī kamisykātin fīhā miṣbāḥ, al-miṣbāḥu fī zujājah, az-zujājatu ka`annahā kaukabun durriyyuy yụqadu min syajaratim mubārakatin zaitụnatil lā syarqiyyatiw wa lā garbiyyatiy yakādu zaituhā yuḍī`u walau lam tamsas-hu nār, nụrun 'alā nụr, yahdillāhu linụrihī may yasyā`, wa yaḍribullāhul-amṡāla lin-nās, wallāhu bikulli syai`in 'alīm

Terjemah Arti: Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. 

Tafsir Quran Surat An-Nur Ayat 35 35. Allah adalah cahaya langit dan bumi, pemberi petunjuk kepada semua makhluk yang tinggal pada keduanya. Perumpamaan cahaya Allah dalam hati seorang mukmin adalah seperti satu lubang yang tak tembus di suatu dinding,yang di dalamnya ada pelita. Pelita itu ditempatkan dalam kaca bening seakan-akan bintang yang bercahaya seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak yang berasal dari pohon yang berkah, yaitu pohon zaitun yang tumbuh di tempat yang tidak dihalangi oleh sesuatupun dari sinar matahari, baik di pagi atau sore hari. Lantaran kemurnian minyaknya, maka ia hampir saja bercahaya dan menerangi walaupun tidak disentuh api, lalu bagaimana bila disentuh oleh api?! Cahaya lampu berada dalam cahaya kaca (cahaya yang berlapis-lapis). Beginilah perumpamaan hati seorang mukmin bila di dalamnya bersinar cahaya petunjuk. Allah membimbing kepada cahaya-Nya, yaitu Al-Qur`ān, siapa yang Dia kehendaki dari hamba-hamba-Nya. Dan Allah menjelaskan banyak perkara dengan membuat perumpamaan-perumpamaan. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu, tidak ada sesuatupun yang tersembunyi dari-Nya.

Dalam bertaqwa memanglah berat, karena itu wallahu a'lam Allah berfirman, "fattaqullaha mastatha'atum!" (maka bertakwalah semampu kalian) (Qs. 64: 16). K.H. Mustofa Bisri mengibaratkan takwa seperti atlet yang ingin mendapatkan piala juara, memang berat. Maka dari itu haruslah memiliki niat, berlatih dengan tekun, dan mengerahkan segenap tenaga. Jadi semampunya ternyata juga bukan berarti seenaknya. Apabila dalam perjalanan hidup ini, kita tidak bisa istiqomah dalam menghadap Allah, maka sepanjang perjalanan hingga akhir kita akan senantiasa sulit menepiskan rasa khawatir dan susah di hati. Sebaliknya apabila kita dapat, maka kita akan seperti Rasulullah yang mendapat jaminan Allah memperoleh kedamaian hati sepanjang perjalanan. 

Kegelapan yang mengantarkan kita pada cahaya. Warna hitam tidak pernah ada, yang ada hanya warna putih yang beredar dan memudar menjadi berbagai butiran warna. Pada hidup kita senantiasa berjalan pada kegelapan. Sedemikian itu hidup adalah kegelapan, maka kita akan senantiasa merindukan cahaya. Setiap kejadian itu ada ketidak pastian, dan kepastian, melangkahlah, dan hanya kepada Allahlah kita berharap. Andalkanlah selalu nama Muhammad, agar Allah senantiasa cinta dan tidak tega terhadap kita, namanya selalu menjadikan cahaya yang dituju kepada Allah. Jadilah orang yang senantiasa, memiliki ilmu, cinta, kebijaksanaan, dan kesetiyaan. Urusan cinta apapun asalkan kaitannya dengan Nabi Muhammad dan Allah, maka cinta itu menjadi baik. Kalau kita mengungkapkan cinta, kita tidak bergantung pada orang lain, tapi bagaimana mengungkapkan cinta sesuai nilai yang kita punya. Sholawat itu merupakan media perantara. Melalui sholawat menjadikan cinta segitiga antara manusia, Nabi Muhammad, dan Allah.

Pengakuan seseorang bertuhan kepada Allah belumlah dianggap sah sebelum mengakui ke-Rasulan Nabi Muhammad saw sebagaimana telah digariskan oleh konsep dua kalimat syahadat. Orang yang tidak mengucap Dua kalimat syahadat adalah orang yang tidak beriman, sebab mereka menolak kebenaran Nabi Muhammad saw sebagai utusan Allah. Keyakinan umat Islam disebutkan bahwa nama Nabi Muhammad saw terhitung amal mulia sebagai do'a yang digubah dalam bentuk sholawat. Mengucapkan sholawat kepada Nabi Muhammad saw menjadi suatu amal shalih, karena Allah didalam Al-Qur'an surat Al-Ahzab 56 memerintahkan kepada orang-orang beriman untuk membaca sholawat kepada Nabi Muhammad.

Pada titik ini kita akan mulai paham bahwa manusia tidak akan mampu menjamin apapun pada diri kita pada hidup kita. Posisi manusia adalah pada posisi berdoa, dan berharap, posisi memohon kepada Allah. Mudah-mudahan Allah tidak memalingkan kita dari garis lurus shirathal mustakim, walapun sebagai manusia sulit untuk mempresisikan diri. Selain itu kita juga harus paham, kita sebagai manusia adalah ciptaan dan Allah adalah pencipta kita, pencipta seluruh alam semesta. 

Sang Pencipta 

mintalah fatwa kepada hati nuranimu

"minhaisu ala tafshin"
'segala sesuatu itu ada rohaninya, percayakan sesuatu pada Allah'

وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ ۚ وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى ٱللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُۥٓ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ بَٰلِغُ أَمْرِهِۦ ۚ قَدْ جَعَلَ ٱللَّهُ لِكُلِّ شَىْءٍ قَدْرًا

wa yarzuq-hu min ḥaiṡu lā yaḥtasib, wa may yatawakkal 'alallāhi fa huwa ḥasbuh, innallāha bāligu amrih, qad ja'alallāhu likulli syai`ing qadrā

Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu. — Quran Surat At-Talaq Ayat 3.

Tiga Tingkatan Allah Sebagai Sang Pencipta

1. Khalik, yang dimaksud dengan Khalik sendiri adalah Allah SWT. Al-Khalik merupakan salah satu asmaul husna dari Allah SWT yang wajib diketahui. Pada manusia keadaan makna katanya menjadi membuat. Ini berarti menciptakan, bagi manusia bisa menjadi perantara dalam membuat kreasi. Ini berarti Allah hadir menjadi Pencipta.

2. Al-Bar`u, yakni (yang darinya diambil kata Al-Bari`) memiliki makna Al-Faryu, yaitu melaksanakan dan memunculkan atau mengadakan apa yang, Allah tetapkan menuju ke alam nyata. Dan tidak semua yang bisa menetapkan sesuatu dan mengaturnya mampu untuk melaksanakan dan mewujudkannya, selain Allah. Makna Al-Bari` adalah yang menciptakan tanpa meniru, dan mewujudkan ke alam nyata apa yang Allah tetapkan. Ini berarti mewujudkan, mengadakan, melaksanakan, bagi manusia bisa menjadi menghasilkan menjadi ada. Ini berarti Allah hadir menjadi Zat yang dapat mewujudkan sesuatu.

3. Bentuk mashdar dari al-Mushawwir adalah al-Tashwir. Sesuatu yang mempunyai panjang, lebar, besar, kecil, dan apa saja yang melengkapinya, untuk menjadikan sempurna dan sesuatu yang berbentuk. Jadi, Allah tidak sekedar menciptakan segala sesuatu dan memberi ukuran dan bentuk yang berbeda-beda, tetapi juga dengan rupa yang indah.

Sehingga, sifat Al-Mushawwir melengkapi sifat yang lainnya, yakni sifat Al-Khâliq dan Al Bâri’. Allah adalah Al-Khâliq, karena Dia yang mengukur kadar ciptaannya. Allah Al-Bâri`, karena Allah yang mengadakan sesuatu dari ketiadaan. Sedangkan Allah Al-Mushawwir, karena Dia-lah yang memberi bentuk, citra, ciri, dan karakter untuk setiap ciptaan-Nya, sehingga semua tampak serasi, sempurna, dan penuh keindahan. Semua makhluk Allah ciptakan tanpa ada contoh sebelumnya, tetapi semua sesuai dengan kehendak, ilmu, dan hikmah Allah (Rahmad Ramadhan al-Banjari: 164).

Seorang hamba yang bermunajat dan berzikir dengan nama Allah Al-Mushawwir dan meneladaninya, akan hadir dalam dirinya kemampuan untuk memaksimalkan kemampuan, potensi-potensi yang telah Allah berikan kepadanya. Potensi tersebut harus terus dilatih dan dikembangkan, sehingga lahir sebuah karya yang memberikan manfaat kepada sesama.

Referensi :

·         Dr. Hasan el-Qudsy, The Miracle of 99 Asmaul Husna, Ziyad Book, 2014
·         Abd Rahman R, Memahami esensi asmaul husna dalam alqur’an (Implementasinya Sebagai Ibadah dalam Kehidupan), UIN Alauddin.

*Apabila mengutip tulisan ini, mohon sertakan sumber yang lengkap dari penulis, dan gunakan pengutipan yang baik dan benar, terima kasih.

Tidak ada komentar: